"Assalamu'alaikum." Ucap Ustadzah Aisyah, Fatimah dan Nur.
Mereka bertiga berniat untuk menjenguk Rabi'ah. Karena setelah ibunya meninggal ia belum masuk kembali ke pesantren.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Rohmat dan Hani. Mereka berdua tengah duduk didepan rumah sambil mengawasi Najwa yang baru berusia lima tahun bermain.
Uatadzah Aisyah menyalami keduanya dan diikuti oleh Fatimah dan Nur.
"Ayo ustadzah masuk kedalam." Hani mempersilahkan mereka untuk masuk.
Setelah mereka masuk kedalam Hani mempersilahkan untuk duduk. Sedangkan ia sendiri pergi kedapur untuk mengambilkan minuman.
Rohmat tidak ikut masuk melainkan tetap diluar mengawasi putrinya.
Hani membawa nampan yang berisi tiga gelas teh hangat. Lalu menyuguhkan teh tersebut kepada tamunya.
"Ayo ustadzah diminum," ucap Hani mempersilahkan.
Ustadzah Aisyah tersenyum, "iya," katanya seraya mengangguk.
"Kami kesini untuk menjenguk Rabi'ah. Kenapa dia tidak masuk lagi kepesantren? Apa sedang sakit atau bagaimana?" Ustadzah Aisyah mengutarakan maksud kedatangannya.
Hani hanya diam tidak mampu menjawab apa-apa. Ada semburat kesedihan diwajahnya.
"Ustadzah! Sebaiknya ikut saya." Hani berdiri.
Wajah ustadzah Aisyah nampak kebingunan namun ia tetap ikut berdiri.
"Fatimah! Nur! Kalian disini dulu yah," ucap Ustadzah Aisyah yang hanya dibalas anggukan oleh keduanya.
"Yuk ustadzah!" Hani berjalan didepan sedangkan ustadzah Aisyah mengekor dibelakang.
Saat sudah sampai dikamar Rabi'ah, Hani membuka pintunya setengah. Terlihatlah Rabi'ah yang tengah duduk memunggungi mereka berdua.
"Seperti itulah keadaannya. Ia begitu terpukul dengan semua kenyataan ini. Rabi'ah tidak mau makan dan minum bahkan ia tidak mau berbicara dengan siapa pun," jelas Hani. Ia menghela nafas, dadanya terasa sesak saat melihat keadaan Rabi'ah.
"Boleh saya berbicara berdua dengan Rabi'ah?" Tanya Ustadzah Aisyah.
"Masuk saja ustadzah." Hani berlalu pergi meninggalkan kamar Rabi'ah.
Ustadzah Aisyah masuk kekamar Rabi'ah lalu duduk disampingnya. Keadaan Rabi'ah sangat kacau. Matanya sembab, ada sisa-sisa air mata dipipinya. Bibirnya sedikit pucat. Bahkan tatapannya kosong.
"Rabi'ah!" Panggil ustadzah Aisyah.
Tidak ada jawaban, Rabi'ah hanya diam.
Setengah hati ustadzah Aisyah meringis menyaksikan keadaan Rabi'ah, hatinya ikut pilu.
"Apa kau tak ingin curhat dengan ustadzah? Ustadzah siap mendengarkannya," Ia berusaha membuka obrolan.
Ia tertegun, jiwanya terkoyak melihat santrinya yang selalu terlihat ceria kini benar-benar terlihat hancur.
"Bukan kah kau pernah bilang pada ustadzah, kalau kamu sangat mencintai ibumu. Lalu kenapa kau seperti ini? Ibumu pasti sangat kecewa melihat kau yang kacau seperti ini." Ustadzah Aisyah mengelus punggung Rabi'ah dengan lembut berusaha mengalirkan energi positif pada anak didiknya ini.
"Cinta bukan mengajarkan kita menjadi lemah Rabi'ah, tapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan melemahkan semangat tetapi membangkitkan semangat. Jika kau seperti ini saat kehilangan ibumu berarti bukan cinta yang kau rasakan pada ibumu," ucap Ustadzah Aisyah. Ia perihatin akan kondisi Rabi'ah yang seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah (Revisi)
EspiritualDarimu aku belajar satu hal, yaitu cinta. "Jika Rabi'ah Adawiyah dimasa lalu, menghabiskan hidupnya untuk beribadah kerena kecintaannya kepada Allah. Maka aku, Rabi'ah Adawiyah dimasa sekarang ingin menghabiskan hidupku untuk berbakti kepada kedua o...