Rabi'ah menatap kosong pada gundukan tanah yang sudah menutupi tubuh ibunya. Ia belum bisa percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Bahkan ia belum bisa ikhlas menerima takdir yang Allah tetapkan padanya.
Seseorang yang selama ini ia sayangi sudah pergi. Seseorang yang menjadi tujuan hidupnya sudah tidak ada. Lalu apa gunanya ia hidup? Untuk apa hidupnya? Semuanya sudah tidak berarti lagi bagi Rabi'ah. Semua harapannya sudah hancur bersama perginya orang yang ia sayangi.
Rabi'ah duduk dipinggir nisan ibunya. Semua pelayat sudah pulang menyisakan Rohmat, Hani dan Rabi'ah. Rabi'ah mengelus perlahan nisan itu. Apakah kenyataan sepahit ini? Ia ingin menangis tapi ia tidak bisa. Air matanya terasa sudah kering.
"Ibu! Apakah ini akhir dari semuanya?" Tanya Rabi'ah.
"Tujuan hidupku adalah untuk mengabdikan seluruhnya hanya untuk mencintaimu bu! Lalu apa yang aku lakukan? Saat apa yang menjadi tujuanku sudah pergi? Apa aku harus ikut bersamamu bu. Mengakhiri hidupku kah? Karena saat kau pergi hidupku sudah tidak berarti lagi." Setetes air mata jatuh dipipi Rabi'ah.
Hani ikut meneteskan air matanya saat mendengar ucapan Rabi'ah. Ia langsung menghapusnya dengan kasar saat menyadari air mata itu menetes dipipinya. Ia harus kuat.
Hani duduk disamping Rabi'ah, "kita pulang yu, sudah sore," ajak Hani.
"Kita bisa kesini kembali besok, untuk mendoakan ibu, tapi sekarang kita harus pulang." Hani mengajak Rabi'ah berdiri.
Rabi'ah hanya menuruti perkataan Hani. Setelah itu ketiganya berdiri dan pergi meninggalkan pemakaman.
Ibu,
Mengapa takdir sekejam ini
Mengapa ia memisahkan kitaAku begitu sangat menyayangimu
Tapi apa arti dari rasa sayang ini
Jika kau tidak bersamakuIbu,
Sesuatu yang paling sulit bagiku
Adalah saat kau pergi
Meninggalkanku sendiri
Bersama kegelapanAku bahkan belum sempat mengucap kata perpisahan
Namun kau sudah pergi begitu sajaKau adalah sosok seorang ibu yang selalu aku banggakan
Kau tidak pernah lelah menyayangiku
Meski kadang sikapku melukai hatimuIbu,
Kau punya cara sendiri untuk menyayangiku
Bahkan kau isi sisa hidupmu hanya untuk menyayangiku.
Selalu ada untukku.Dulu,
Waktu aku masih kecil dengan telaten kau mengurusku
Dan saat aku remaja kau selalu mengarahkanku kejalan yang lebih baikSemua itu kau lakukan semata-mata karena rasa sayangmu padaku
Bahkan kau tidak pernah meminta balasan atas semua itu.Ibu! Katakan padaku, kebaikan apa yang pernah kulakukan untukmu bu?
Tidak ada. Bahkan hanya kenalakan-kenakalan yang dapat kuberikan padamu.Aku belum bisa melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia sampai Allah memanggilmu lebih dulu.
Dan benar bu, penyesalan itu datang diakhir. Saat aku sudah tidak bisa lagi melihat senyummu.
Maafkan anakmu ini bu.
***
Sudah tiga hari semenjak Zainab meninggal, selama itu pula Rabi'ah tidak makan dan minum. Ia hanya berdiam diri dikamar. Duduk diatas Ranjang sambil memeluk baju ibunya. Ia tidak mau bicara baik dengan Rohmat ataupun Hani.
Hani sangat khawatir dengan keadaan Rabi'ah saat ini. Sesekali ia mengintipnya memastikan bahwa Rabi'ah baik-baik saja.
Kali ini ia tengah menyiapkan makanan untuk dibawa kekamar Rabi'ah. Hani akan berusaha keras untuk merayu Rabi'ah agar makan. Ia kasihan dengan adiknya itu. Perutnya kosong tidak terisi apapun sudah tiga hari ini. Ia tidak ingin Rabi'ah jatuh sakit.
Saat membuka pintu kamar, Hani menjerit nampan yang dibawanya pun terjatuh dilantai saat menyaksikan Rabi'ah yang tengan menggenggam pecahan kaca dengan sekuat-kuatnya hingga darah segar mengalir dar telapak tangannya.
"Kang Rohmat!" Hani menjerit-jerit memanggil suaminya.
Tidak lama kemuadian, suaminya datang dan langsung mengambil paksa pecahan kaca yang ada ditangan Rabi'ah bahkan tangan Rohmat pun ikut terluka karenanya. Setelah beberapa menit akhirnya pecahan kaca itu berhasil diambil Rohmat. Darah juga mengalir ditangan Rohmat.
Hani langsung mengambil air dan kain yang tidak terpakai. Ia membersihkan luka pada tangan suaminya dengan air dan menyobek kain yang dibawanya asal lalu mengikatkannya pada tangan Rohmat yang terluka untuk menutupi lukanya.
Setelah itu, Hani mengganti air yang sudah kotor oleh darah suaminya dangan air yang masih bersih. Ia berjalan mendekati Rabi'ah lalu duduk disampingnya. Menarik tangan Rabi'ah yang terluka. Tapi Rabi'ah menolaknya.
"Kenpa kalian tidak membiarkanku mati saja. Tidak ada gunanya lagi aku hidup" Rabi'ah menjerit histeris. Ia menangis dengan pandangan kosong.
"Rabi'ah tenang!" Bentak Rohmat, "jangan menjadi manusia konyol. Apa dengan kau mati, ibu akan bahagia," ucapa Rohmat dengan nafas yang memburu menahan amarah.
Kenapa adiknya bisa berfikir seperti itu?
Hani berjalan mendekati Rohmat, ia mengelus lengan suaminya dengan lembut, "tenangkan dulu emosimu, Rabi'ah biar aku yang mengurus."
"Apa yang akan terjadi, jika tadi aku tidak datang tepat waktu. Gadis bodoh itu tidak akan segan-segan memotong nadinya." Rohmat benar-benar marah, ia meledak-ledak.
"Kang tenanglah! Rabi'ah tidak akan melakukan apapun. Biarkan dia bersamaku. Keluarlah jika ada sesuatu aku akan memanggilmu." Hani menatap manik mata Rohmat yang dipenuhi amarah.
Ia berharap dengan seperti ini mampu sedikit menenangkan Rohmat.
"Keluarlah!" Ucap Hani lembut.
Rohmat hanya bisa pasrah dan akhirnya menuruti perkataan Hani.
Hani kembali duduk disamping Rabi'ah, "berikan tanganmu." Rabi'ah tak bergeming ia hanya diam saja.
"Apakah ibu mengajarimu menjadi gadis bodoh? Dengan melukai dirimu sendiri. Apa ibu akan bangga dengan semua yang kamu lakukan ini?" Ucap Hani dengan tenang.
Hani menarik tangan Rabi'ah yang terluka. Awalnya Rabi'ah menolak. Tapi akhirnya Rabi'ah pasrah dan membiarkan Hani mengobati lukanya.
"Rabi'ah! Berhentilah bersikap seperti gadis yang tidak beragama. Kau tahu? Allah sangat membenci orang yang bunuh diri, bahkan Allah mengharamkannya masuk kesyurga. Jika akhirnya kau mati karena bunuh diri dan Allah memasukkanmu keneraka, apa kamu tidak akan menyesal? Karena tidak merasakan keindahan syurga."
Hani dengan hati-hati mencuci tangan Rabi'ah yang terluka. Bahkan lukanya sangat dalam dibanding luka ditangan suaminya tadi.
"Teteh tidak ingin menceritakan keindahan syurganya melainkan, apa kau tidak ingin bertemu ibu disyurga," lanjut Hani.
Hani menyobek kain lalu melilitkannya ketelapak tangan Rabi'ah dan mengikatnya.
"Dan sekarang terserah kamu. Apa kau ingin tetap bunuh diri? Atau tetap hidup? Pilihan ada ditanganmu jika ingin tetap bunuh diri, teteh tidak akan melarangmu lagi," ucap Hani. Ia berkata seperti itu hanya untuk membuat Rabi'ah berfikir.
Sebenarnya ia juga tidak menginginkan Rabi'ah bunuh diri. Tapi apa yang bisa Hani lakukan selain ini? Tidak ada kan?
"Berusahalah untuk menerima semuanya dengan ikhlas dan lapang dada. Dengan kau seperti ini tidak akan membuat semuanya kembali seperti semula."
"Disini bukan hanya kamu yang merasa kehilangan, teteh, kang Rohmat dan Najwa pun, merasakan kehilangan tapi bukan begini cara melampiaskannya. Banyak cara lain yang bisa dilakukan salah satunya dengan mendoakan ibu." Hani berusaha menasehati Rabi'ah.
Rabi'ah tidak berkata apa-apa. Hanya diam seribu bahasa.
Hani berharap Rabi'ah mampu melewati keterpurukannya ini dengan kuat. Ia selalu berdoa kepada Allah agar melapangkan hati Rabi'ah agar dapat menerima semuanya dengan ikhlas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah (Revisi)
SpiritualDarimu aku belajar satu hal, yaitu cinta. "Jika Rabi'ah Adawiyah dimasa lalu, menghabiskan hidupnya untuk beribadah kerena kecintaannya kepada Allah. Maka aku, Rabi'ah Adawiyah dimasa sekarang ingin menghabiskan hidupku untuk berbakti kepada kedua o...