Tiupan angin siang ini sedikit sejuk tidak seperti biasanya. Rabi'ah duduk dibawah pohon jambu mede. Kali ini, bukan untuk menggembala kambing melainkan untuk menunggu seseorang. Lama-lama ia sedikit jengah, sudah hampir satu jam dan yang ditunggu tidak kunjung datang.
"Biasanya teh Fat kan lewat sini. Apa teh Fat sudah lewat yah??"
Rabi'ah menerka-nerka, ia mencondongkan kepalanya kedepan, mencari-cari seseorang. Rasanya sangat kesal jika harus terus-terusan menunggu seperti ini. Siapa sih yang tidak bosan saat menunggu?? Apa lagi menunggu sesuatu yang tidak pasti, ups. Tapi tenang, menunggunya Rabi'ah saat ini bukan untuk menunggu yang dikategorikan hal tidak pasti apa lagi hanya hal yang tidak penting.
Ia melipat kedua tangannya didada. Ia harus sabar, mungkin sebentar lagi Fatimah akan lewat. Wajah ditekuknya dipaksakan tersenyum, walaupun sedikit terpaksa namun masih terlihat manis. Setidaknya meski dipaksakan ia masih bisa tersenyum toh.
"Capek juga ternyata yah," ucap Rabi'ah lirih. Ia menjadi jenuh. Apa lagi tidak ada hal yang dapat ia usili. Jadilah bertambah kejenuhannya. Jika saja ada yang bisa diusili, mungkim bisa jadi pelarian dari kejenuhan.
Rabi'ah mengubah posisi duduknya menjadi selonjoran. Kakinya terasa kesemutan jika terlalu lama ditekuk. Bila saja pohon jambu mede ini bisa merasa, mungkin ia juga merasa pegal karena sudah terlalu lama Rabi'ah menyender. Ia meraih beberapa rumput panjang yang ada disekitarnya. Menggulung-gulungkannya hingga tak berbentuk lagi. Kasihan juga ramput itu menjadi pelampiasan Rabi'ah.
"Assalamu'alaikum Rabi'ah."
Rabi'ah mengenali suara itu. Ia tersenyum, semangatnya telah kembali. Akhirnya penantiannya tidak sia-sia. Ia mendongakan kepalanya, dan benar itu suara Fatimah yang sudah sangat ia kenali.
"Wa'alaikumussalam teh." Jawab Rabi'ah seraya berdiri.
Ia menepuk-nepuk pakaian bagian belakangnnya yang kotor karena duduk diatas tanah tanpa alas.
"Lihat deh teh, aku juga pake gamis dan kerudung kaya teteh. Gimana menurut teh Fat?" Tanya Rabi'ah, ia berputar-putar didepan Fatimah, bak seorang model hanya untuk menunjukan setiap jengkal penampilannya.
"Kamu kelihatannya pangling Rabi'ah," puji Fatimah dengan tulus. Sebuah senyum simpul tergambar diwajahnya. Permulaan yang sangat bagus, semoga dengan kehadirannya mampu membantu Rabi'ah menjadi manusia yang lebih baik.
Penampilan Rabi'ah kali ini memang patut mendapatkan pujian. Karena memang dia sangat cantik dan anggun dalam balutan gamis yang dipakainya.
"Kalau gitu kamu ikut teteh yu!" Ajak Fatimah pada Rabi'ah.
"Kemana teh?" Tanya Rabi'ah, ia nampak kebingungan.
"Udah ikut aja." Fatimah menarik tangan Rabi'ah. Sedang Rabi'ah ia hanya menurut saja.
Kedua gadis itu pergi dari tempat itu. Ada beberapa pertanyaan yang tumbuh diotak Rabi'ah namun ia tunda untuk bertanya. Mungkin nanti jika sudah sampai ditempat yang dituju barulah Rabi'ah akan menanyakan semua hal yang ia ingin tanyakan.
Rabi'ah menyapukan pemandangannya kesekitar, disamping kanannya ada hamparan sawah dengan tumbuhan padi yang tengah menghijau sedangkan disamping kirinya ada ladang yang ditanami umbi-umbian. Sungai kecil menjadi pemisah antara jalan dan ladang tersebut, airnya sangat jernih hingga memperlihatkan bagian dasarnya. Ia sangat menyukai pemandangan seperti ini. Baginya hidup didesa sangat nyaman, dengan semua yang ada didesa membawa pengaruh tersendiri bagi setiap manusia. Sekali lagi Rabi'ah bersyukur dengan semua ini. Suatu hal yang tidak akan pernah ditemukan dikota.
"Teh kita mau kemana?" Tanya Rabi'ah, otaknya sudah tak sabar untuk bertanya.
"Kamu itu ternyata cerewet yah." Fatimah menoleh dan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah (Revisi)
SpiritualDarimu aku belajar satu hal, yaitu cinta. "Jika Rabi'ah Adawiyah dimasa lalu, menghabiskan hidupnya untuk beribadah kerena kecintaannya kepada Allah. Maka aku, Rabi'ah Adawiyah dimasa sekarang ingin menghabiskan hidupku untuk berbakti kepada kedua o...