Cahaya matahari mulai meninggi, detik-detik sunrise sudah perlahan menghilang bersama meningginya sang surya.
Disaat itu pula Rabi'ah dan ibunya tengah berjalan melawan teriknya matahari yang mulai menyengat. Sedikit peluh mulai tercipta meski mereka berjalan belum begitu jauh, mungkin kerena beban yang mereka bawa saat ini.
"Ibu! Rabi'ah cape." Mengeluh, itulah sifat asli manusia. Padahal beban yang dibawa Rabi'ah jauh lebih ringan dibanding yang dibawa ibunya.
Manusia. Makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Mengeluh dan selalu mengeluh dengan setiap yang mereka rasakan. Dapat musibah sedikit mengeluh apa lagi dapat musibah besar, seakan-akan dia lah orang yang paling menderita didunia ini padahal diluar sana masih banyak yang lebih menderita namun mereka masih bisa sabar dan bersyukur.
Orang tidak akan pernah bisa bersyukur ketika mereka tidak pernah merasa cukup.
"Kamu ini ngeluh terus, lihat ibu bawa dua kantong pelastik sekaligus, kalo mau ngomong berat, beratan yang dibawa ibu ini," ucap Zainab seraya memperlihatkan kantong pelastik yang ada dikedua tangannya.
Saat ini Zainab akan mengantar Rabi'ah pergi kepondok. Kantong pelastik yang ia bawa itu isinya adalah singkong yang akan ia berikan kepada ustadzah Aisyah, ia hanya memiliki singkong jadilah singkong itu yang ia bawa. Harapannya semoga bermanfaat untuk penghuni pondok.
Rabi'ah berfikir sejenak. Dan benar. Singkong yang dibawa ibunya lebih banyak. Seharusnya yang mengeluh ibunya bukan ia. Hal yang tak ia sadari. Hal itu membuat Rabi'ah sadar dan akhirnya berhenti mengeluh.
"Rabi'ah masih jauh tidak?" Tanya Zainab.
"Sebentar lagi bu," jawab Rabi'ah, ia kasihan juga lama-lama melihat ibunya. Rasanya tidak tega.
"Sini bu, biar Rabi'ah bawakan yang separuh!" Rabi'ah menawarkan bantuan kepada ibunya, namun dibalas dengan gelengan.
Setelahnya, tidak ada yang membuka percakapan. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.
"Udah sampe bu, yu kita langsung kerumah ustadzah Aisyah."
Keduanya berjalan beriringan menuju rumah panggung yang berada ditengah-tengah asrama.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Jawab seseorang didalam bersamaan dengan dibukanya pintu.
"Ayo masuk Rabi'ah! ibu!" Ustadzah Aisyah tersenyum menyambut mereka lalu mempersilahkan keduanya masuk kedalam, dan menyuruh mereka duduk diatas tikar yang sudah disediakan.
Rabi'ah dan ibunya langsung duduk saat dipersilahkan oleh ustadzah Aisyah.
"Begini ustadzah, saya mau memondokan Rabi'ah disini." Zainab mengawali obrolannya, setelah ustadzah Aisyah mempersilahkan duduk.
"Disini terbuka bagi siapa saja yang ingin menuntut ilmu." Ustadzah Aisyah tersenyum tulus pada Zainab.
Sedangkan Rabi'ah hanya mengamati keduanya saat mengobrol.
"Tapi saya tidak punya uang ustadzah." Wajah Zainab nampak murung, ini yang ia takutkan. Ia takut jika Rabi'ah tidak diterima disini.
"Ibu! Disini, tidak hanya mengaji namun mereka juga dituntut untuk mandiri dengan mengelola beberapa ladang dan empang, lalu penghasilannya untuk kebutuhan meraka sehari-hari. Jadi, jangan khawatirkan masalah uang, selagi anaknya memiliki kemauan yang tinggi untuk mengaji disini terbuka untuk mereka." Jelas ustadzah Aisyah.
Rasa-rasanya Zainab sangat lega mendengarnya, harapan bagi putrinya untuk nyantri disini sangat besar. Dan Rabi'ah pun merasakan hal yang sama dengan ibunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/141051887-288-k326880.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah (Revisi)
SpiritualDarimu aku belajar satu hal, yaitu cinta. "Jika Rabi'ah Adawiyah dimasa lalu, menghabiskan hidupnya untuk beribadah kerena kecintaannya kepada Allah. Maka aku, Rabi'ah Adawiyah dimasa sekarang ingin menghabiskan hidupku untuk berbakti kepada kedua o...