Page 2
---Jungkook
Alunan piano seolah menghipnotisku. Tanpa kusadari aku terus memejamkan mata selama permainan hingga akhirnya tuts terakhir ditekan dan hening. Selama lima detik, tidak ada suara apapun hingga akhirnya tepuk tangan memenuhi seisi ruangan.
Beberapa orang berdiri, bertepuk tangan sambil berteriak sementara aku memilih untuk tetap duduk dan tersenyum.
“Permainan Jimin sudah meningkat sejak terakhir kali aku mendengarnya,” bisikku pada Yoongi di sampingku. Dia hanya bergumam, tidak menanggapi lebih, tapi aku tahu dia setuju dengan hal itu.
“Kurasa penggemarnya akan semakin banyak setelah ini.”
“Dan itu menyebalkan,” akhirnya Yoongi mengeluarkan suaranya, dan aku tertawa.
Sudah lama sekali sejak aku tak bertemu dengan Jimin. Bahkan kami terakhir kali bertemu di bangku sekolah, 10 tahun yang lalu. Aku terlalu sibuk dengan kuliah dan urusan hidup yang selalu minta ditendang, dan tahu-tahu ternyata rekan penonton film porno sekaligus sahabatku sudah jadi pianis terkenal. Astaga, berada di New York membuatku buta dengan Seoul beberapa tahun.
Jujur kuakui permainan Jimin sangat kunikmati, dan kalau bisa, aku ingin dia memainkannya terus. Karena kurasa itu lebih baik, hanyut dalam alunan melodi ketimbang hanyut dalam ingatan seram dua hari silam—kematian Hoseok.
Sulit mempercayai bahwa laki-laki yang sempoyongan dan selalu tersenyum itu ditemukan bersimbah darah paginya. Ruangannya penuh bercak darah dan beberapa peluru terserak di sekitarnya.
Padahal paginya aku berencana untuk meminta Hoseok untuk jangan terlalu banyak bicara. Dan, ya, kurasa pagi itu dia memang benar-benar tidak bisa bicara lagi. Untuk selamanya. Tapi... haruskah begitu?
Sebelum kejadian itu, dia sempat mengejekku dan bilang, “Jungkook, masih sendirian? Mana pacarmu?”
Dan Taehyung dengan antusiasnya menyambar, “Oh. Jungkookie kita sudah punya pacar rupanya.”
Seharusnya itu hanya ejekan biasa. Tapi aku tahu akan beda ceritanya kalau itu keluar dari mulut Hoseok. Dia tahu soal aku. Soal itu. Soal gadis itu. Soal hal yang seharusnya tidak diketahuinya, atau siapapun.
Aku benci merahasiakan sesuatu, sebenarnya. Tapi aku lebih benci lagi jika hal yang kurahasiakan justru terbongkar. Pikirku malam itu, mungkin aku harus bicara dengan Hoseok. Tapi kurasa aku tidak perlu melakukannya lagi. Dan tidak akan pernah ada kesempatan untuk melakukannya lagi.
Aku memejamkan mata sementara beberapa hadirin keluar, masih duduk di tempat sampai kurasakan ponselku bergetar. Ada dua pesan, dengan dua nama yang berbeda di sana.
Jeon, kapan kau pulang? Ibumu bilang kau tak ada di apartemen.
Aku ada di mall seberang. Kenapa?
Dan aku memilih untuk mengabaikan pesan pertama dan membalas pesan kedua.
Tunggu sebentar. Aku akan ke sana.
Mungkin ini terlalu kejam. Tapi dari satu sisi setelah kematian Hoseok itu, sebuah perasaan lega muncul. Jujur. []
*
Arata’s Noteu:
Kita ke POV-nya ketayanganq yang paling nyebelin, Juki. What do you thing about him, guys?
*think^
Kemungkinan ke depannya bakal pendek-pendek, biar per chapter cukup satu POV aja gitu. Biar partnya banyak juga dan menghindari kebuntuan dadakan *belakangan males nulis panjang gitu, bear with it ya*
Anw, mau minta saran nih. Biar nggak kaku banget nanti. Butuh POV cewek nggak? Biar ke depannya nggak cuman si 4 serangkai ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Up and Down ♤ (✓)
FanfictionMalam itu seharusnya hanya ada acara reuni. Tidak lebih. Jelas sekali pembunuhan Jung Hoseok tidak masuk dalam daftar Malam itu, semuanya berubah. Dan hanya ada dua pilihan bagi ke empat sahabat lama yang akhirnya bertemu lagi. Membiarkan hidup mer...