Rima
Nama Jungkook muncul di televisi, dan aku baru tahu soal itu. Mungkin kedengaran mustahil, tapi aku serius. Ini pertama kali dalam dua minggu terakhir aku melihat televisi. Aku bahkan tahu hal itu karena baru saja melewati toko elektronik.
Daripada editor majalah fashion aku lebih mirip manusia purba yang baru keluar dari gua.
Seharusnya aku tidak keluar hari ini. Dan jika diminta untuk jujur, aku sendiri malas. Tipikal orang yang lebih suka berada di rumah, bekerja seharian penuh di depan laptop daripada berinteraksi dengan orang. Kok kedengarannya aku seperti anti-sosial ya? Oke, maksudku bukan begitu. Sungguh.
Hari ini sebenarnya cukup spesial. Well, maksudku besok. Besok hari jadi kami yang kelima. Kalau diibaratkan, hubungan kami sudah seumuran keponakanku—anak lima tahun yang akan masuk ke kindergarten.
Beberapa belakangan hari ini aku dan Jungkook tidak banyak bicara. Aku tahu dia sibuk. Dan kurasa urusannya bertambah seiring dengan namanya yang muncul di televisi. Namun hanya karena itu bukan berarti aku akan melewatkan perayaan hari jadi kami. Lagipula, kami butuh kebersamaan. Dan aku berharap kami bisa melakukan truth or truth—permainan ini merupakan usulan Jungkook saat tahun jadi kami yang pertama—lagi, karena aku ingin tahu alasan kenapa Jungkook belakangan agak... kau tahu, janggal.
Jadi, aku keluar kurang lebih karena Jungkook. Aku harus membeli bahan-bahan untuk membuat sesuatu. Membeli kue-kue dari toko rasanya kurang spesial. Lagipula, segala sesuatu yang dibuat sendiri itu selalu punya kesan tersendiri.
Aku masih menyusuri trotoar ketika ponselku bergetar. Begitu merogoh saku dan melihat layar, nomor tidak dikenal muncul.
“Halo?”
“Ini benar nomornya Rima, kan?”
Sama sekali tidak ada sapaan. Awalan yang cukup bagus untuk telepon dari orang asing. Kemungkinannya, ini orang asing. Bukan pertama kali aku mendapat telepon dari nomor tak dikenal dengan modus yang tidak jelas. Resiko karena nomor dicantumkan di bagian informasi majalah. Mungkin aku harus mulai memikirkan alasan untuk membuat nomorku hilang dari situ.
Meski ragu, aku tetap mengiakan. “Ya, ini Rima. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ah, Rim. Ini aku.” Aku mengernyitkan kening. Namun belum sempat bertanya, si penelpon di ujung sana segera melanjutkan, “Min Yoongi. Masih ingat?”
Min Yoongi.
Min Yoongi.
Tunggu sebentar. Si pucat sipit itu?
Aku hampir saja menyeletukkan isi pikiranku, tapi jelas saja itu kurang sopan. Aku menelan air liur lebih dulu sebelum mengiakan sekali lagi. “Ah, Yoongi. Ingat. Kau temannya Jungkook, kan?”
“Syukurlah kau masih ingat.”
Pada awalnya aku mencoba membayangkan bagaimana rupa si Yoongi ini. Dia juga teman satu angkatanku saat SMA. Dia sekelas Jungkook. Dia sahabat Jungkook. Tapi seingatku, ada yang pernah menyebut namanya. Selain Jungkook. Baru-baru ini seseorang menyebutkan nama Yoongi padaku.
Seseorang menyebutkan namanya dan bilang...
“Kata Hoseok, Yoongi membunuh istrinya.”
Ya, Tuhan. Kak Daniel!
Hanya butuh waktu beberapa detik dan bulu kudukku seketika merinding. Oke, itu gosip. Itu hanya informasi dari Kak Daniel yang entah bagaimana dia bisa tahu. Itu gosip, Rim. Gosip. Jangan terlalu mudah percaya dengan...
“Rima, kau masih di situ?”
Dia menelpon bukan karena ingin membunuhku, bukan?
Kali ini mengiakan tidak semudah yang kulakukan sebelumnya. Tanganku hampir menggeser simbol merah di layar dan mematikan telepon, namun nyatanya aku tidak bergerak. Ini bukan karena Yoongi di ujung sana yang bilang padaku “ada yang ingin kutanyakan soal Jungkook”. Tidak sesederhana itu.
Karena yang kuliihat nyatanya tidak sederhana. Melihat pasangan sendiri di seberang jalan, menggandeng wanita lain dan menciumnya, jelas saja itu tidak sederhana.
Tanganku otomatis turun ke bawah. Aku bisa saja berpikir bahwa yang di seberang sana bukanlah Jungkook. Tapi kekasih macam apa aku yang tidak mengenali pasangannya sendiri? Bahkan jika Jungkook adalah jarum di tumpukan jerami, aku tidak butuh waktu lama untuk mengenalinya.
Itu Jungkook, padahal aku berharap yang diseberang sana bukan Jungkook.
Di umur yang sudah lebih dari 20 tahun, aku punya banyak pengalaman tentang hal-hal mengejutkan. Tentang konten majalah yang meleset, fakta-fakta mengejutkan dari dunia fashion tiap kali melakukan riset, hingga hari ini. Hanya saja untuk kali ini, aku mendapati diri tidak bisa berkutik. Aku merasa baru saja duniaku berputar meski aku tahu kakiku masih berdiri pada tempatnya.
Mataku mendadak sembab, dan aku tahu sebentar lagi aku akan hancur, berubah menjadi air tanpa wadah dan meluncur dengan bebas, entah kapan berhenti bergerak. Hanya saja sebelum aku sempat membiarkan diriku mencair, sesuatu menarikku menjauh, menyusuri gang.
Dan begitu aku berbalik, sosok itu memelukku.
“Menangis saja, tak apa.”
Entah bagaimana dia bisa ada di sini, namun aku tahu siapa yang memelukku.
“Jimin?”
Dia mengelus kepalaku selagi mempererat pelukannya. “Kau bisa cerita padaku. Aku juga ingin cerita sesuatu padamu.” []
*
Arata's Noteu:
Jadi pelakunya adalah...
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Up and Down ♤ (✓)
FanfictionMalam itu seharusnya hanya ada acara reuni. Tidak lebih. Jelas sekali pembunuhan Jung Hoseok tidak masuk dalam daftar Malam itu, semuanya berubah. Dan hanya ada dua pilihan bagi ke empat sahabat lama yang akhirnya bertemu lagi. Membiarkan hidup mer...