File 2, Page 9

2.5K 615 61
                                    

Udah lama banget, sungkem dulu ama ide dadakan haha

...

Yoongi

Hari ini aku ke rumah sakit jiwa.

Tadinya aku sempat berpikir mungkin ini saat yang tepat untuk konsultasi dan mendapatkan satu kamar di sini, tapi bukan ini tujuanku. Ada yang ingin kutemui. Mereka bilang Mira ada di sini.

Aku tidak begitu mengerti secara teknis kenapa gadis itu bisa dimasukkan ke sini, karena terakhir bertemu, dia kelihatan baik-baik saja. Rasa takut sebelum diinterogasi itu hal yang wajar. Atau mungkin itu justru yang membuatnya tidak wajar.

Ada yang harus kutanyakan padanya. Ada yang harus kucari tahu. Semua yang ada dalam kepalaku rasanya ingin meledak, namun keraguan masih membungkamnya. Aku tidak punya bukti, hanya sekadar firasat. Firasat dan ingatan. Namun itu semua bukan fisik. Aku butuh sesuatu untuk mendukung.

Kali ini, aku ingin jadi orang baik. Setidaknya sekali.

Setelah ini, apa dia akan memaafkanku?

Begitu mengunjungi nurse station, salah satu perawat mengantarku ke kamar di lantai 3, nomor 10.

“Belakangan dia agak sensitif. Kurasa kau harus berhati-hati, Tuan,” kata si perawat. Aku hanya mengangguk kecil. “Tak kusangka ada yang mengunjunginya. Datanya bilang dia tidak punya keluarga maupun kerabat.”

“Aku kerabat jauh.” Kurasa itu jawaban paling baik yang bisa kuberikan sekarang. Si perawat tersenyum kecil kemudian pamit, meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu kamar.

Ragu. Sebenarnya, aku masih ragu. Entah datang ke sini merupakan keputusan yang baik atau tidak, tapi aku membutuhkannya. Mira mungkin bisa mendukung semua hipotesisku. Hari ini mungkin jadi kesempatan terakhir, karena siapa yang tahu hari esok?

Bisa saja besok aku diseret dengan paksa ke kantor polisis setelah mereka mengirimiku surat panggilan dua kali namun aku tidak memenuhinya. Aku seperti penjahat kelas kakap.

Tangan bergerak menarik pintu, kaki bergerak masuk dengan pelan. seluruh ruangan ini nyaris putih. Tempat tidur, dinding, semuanya. Masuk ke dalam membuatku merasa seperti tahanan di dalam penjara.

Ada seseorang dengan baju hijau—baju pasien, kurasa. Dan itu Mira. Pada awalnya, dia meringkuk diri, memeluk lutut di sudut ruangan. Hanya saja dia nampaknya bisa menyadari presensiku, dan kepalanya mendongak.

Matanya kelihatan membulat ketika dia bicara. “Kak Yoongi?”

Aku berusaha untuk tersenyum. “Kau masih mengingatku.”

Kepalanya mengangguk lemah. Aku berusaha untuk melangkah pelan namun pasti, hanya saja langkahku terhenti begitu saja ketika ketika dia tiba-tiba menangis.

“Apa kau mengira aku juga gila?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Kembali gadis itu merengkuh lutut, menenggelamkan wajah di antara lipatan kakinya. Dia sama sekali tidak memandangku.

Aku mungkin saja tidak tahu, dan, memang tidak. Tapi aku mengerti bagaimana rasanya. Aku tidak bisa bilang aku tahu persis rasanya, karena perasaan tiap orang itu berbeda. Hanya saja aku pernah mengalaminya. Bagaimana orang sekitar memberi stigma terhadap diri kita. Bagaimana pun rasanya, itu jauh dari menyenangkan.

“Aku percaya padamu, kok.”

Mira segera mengangkat kepalanya, kini tatapan kami berbenturan. Semakin dekat, lingkaran hitam di bawah matanya terlihat begitu jelas. Pipinya jadi lebih tirus ketimbang yang terakhir kali kuingat. Dan dia kelihatan berantakan. Sangat.

“Benarkah?” tanya Mira lagi. Aku mengangguk, mengeluarkan ponselku (pada akhirnya aku tahu ponsel itu hal yang krusial dan membeli yang baru) dan melangkah mendekat, berjongkok di dekatnya. “Karena itu aku kemari. Aku butuh bantuanmu.”

“Bantuanku?”

“Ya. Ada yang ingin kutanyakan.” Kugeser layar ponselku, mencari satu foto yang ingin kutunjukkan. Sebelum menunjukkan foto itu, aku mencoba bertanya, “Tidak keberatan jika aku bertanya?”

Manik cokelat tuanya menatapku, seakan mencari sesuatu—entah apa itu—sebelum dia mengangguk. “Silakan.”

“Soal malam itu...,” jujur saja aku agak ragu untuk bertanya, tapi aku ingin jawaban, aku harus melakukan ini, “... kau tahu pelakunya?”

Kakinya bergerak lurus, dan kini jemarinya saling mengait. “Aku lihat seseorang,” tangan Mira kemudian bergerak untuk menutup mulut hingga dagunya, “tapi setengah wajahnya ditutup.”

Aku baru saja mau bertanya, namun dia sudah lebih dulu bicara lagi. Hanya saja, kali ini tersirat kepanikan dari gelagatnya. “Ka-kau tahu... aku sudah cerita pada polisi. Tapi mereka bilang tidak ada jejak. Tidak ada yang masuk ke kamar itu. Padahal aku lihat sendiri kalau... ada orang. Dia dan...”

“Mira...”

Mira mengembuskan napas, tangannya menyilang, berusaha menutupi wajah. “Kenapa tidak ada yang percaya padaku? Mereka pikir aku mengada-ngada. Mereka pikir aku gila, hanya terobsesi membantu agar mendapat uang. Aku memang butuh uang untuk Ayah. Tapi aku tidak akan berbohong.”

Meski ragu, aku tetap menyodorkan layar ponselku, menunjukkan satu foto pada Mira.

“Apa yang kau lihat itu orang ini?” tanyaku.
Mira menyingkirkan tangan terlebih dahulu. Dan tak lama, dia membelalakkan matanya.

“Dia rang yang kulihat! Sungguh!” Jarinya menunjuk layar ponselku. “Dia menutup wajahnya dengan ini juga.”

Oh, sial. Dugaanku memang benar. []

*

In The Up and Down ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang