File 2, Page 6

2.9K 696 120
                                    

Jungkook

Atas persetujuan dari keluarga, Johnny akhirnya  diautopsi. Hasilnya keluar siang ini, dan Namjoon memberitahuku, sekaligus mengirimku surat panggilan untuk kembali ke kantor polisi. Aku menemukan Taehyung dan Jimin duduk di kursi tunggu.

“Mana Yoongi?”

Jimin mengendikkan pundak kemudian bersandar malas pada kursi. “Tidak tahu. Aku mencoba menghubunginya tadi pagi, tapi tidak ada balasan. Dia juga tidak mengangkat telepon.”

Aku mengangguk kecil sebelum mengambil tempat yang kosong di samping Taehyung.

“Oh, Jeon. Sudah datang?”

“Aku sudah ada di sin, jadi... ya. Yang kau lihat ini benar-benar Jeon Jungkook tampan yang kau kenal.”

“Persetan, Kook.”

Aku tertawa mendengar balasannya. Di saat seperti aku memang butuh percakapan seperti ini. Semuanya terlalu tegang. Semuanya terasa berantakan. Tapi tidak ada cara lain selain bertahan.

Aku ikut bersandar pada kursi. Dinding terasa begitu dingin, namun aku memutuskan untuk diam. Kami bertiga masih diam sampai Taehyung bersuara lebih dulu.

“Menurut kalian itu benar?” tanya Taehyung. Dia meluruskan punggung, kini kedua telapak tangannya berada pada lutut.

“Apanya yang benar?” tanya Jimin balik.

“Soal Hoseok. Soal apa yang dia tahu tentang kita.” Taehyung menghela napas sesaat, namun selanjutnya dia memandang ke arahku. “Bagaimana menurutmu, Kook?”

Mungkin ini terasa konyol. Dari semua, aku merasa aku dan Taehyung cukup dekat. Aku mengenalnya dengan baik, begitu juga keluarganya. Kami mungkin sering berdebat, melempar kata-kata kasar pada satu sama lain, tapi tidak dengan tatapan seperti ini. Rasanya sedikit mengintimidasi.

Apa yang dia tahu?

“Bagaimana dengan yang Hoseok bilang tentang dirimu?” Kuberanikan diri untuk menatapnya balik. Singa tidak bisa dikalahkan dengan domba, bukan begitu? Aku harus jadi singa yang lain. “Yang Hoseok katakan benar?”

Taehyung diam sesaat sebelum mengalihkan kepalanya ke arah lain. “Tidak.”

“Begitu juga denganku,” balasku cepat. Kualihkan perhatianku pada Jimin, namun dia sudah lebih dulu menyadarinya.

“Aku masih sering menonton film porno. Jadi aku normal.” Jimin bicara dengan santai begitu mengalihkan tatapannya dariku, seolah-olah dia tidak tahu aku memerhatikannya tadi.

“Film porno bukan patokan kenormalan seseorang, Jim,” komentar Taehyung. Dia menggelengkan kepala. Keduanya mulai bicara sesuatu yang berputar dengan film porno dan aku merasa ini kesempatanku.

“Aku mau ke toilet,” kataku begitu aku berdiri. Taehyung dan Jimin menoleh ke arahku begitu aku selesai bicara.

“Jangan sampai salah masuk toilet.”

“Santai. Aku belum operasi kelamin.” Aku mengedip pada Jimin, sengaja bercanda. Tapi anehnya dia kelihatan terganggu. Entah memang begitu atau hanya perasaanku saja, karena setelahnya dia tertawa.

Tapi bukan itu yang mencuri perhatianku. Tapi Taehyung. Sesuatu terasa asing darinya. Seolah dia tahu sesuatu. Dia menyimpan sesuatu.

“Bisa hubungi Yoongi, Kook? Ponselku mati,” kata Taehyung. Aku nyaris berpikir dia akan bilang sesuatu yang lain.

“Oke.”

Dan setelahnya, aku segera berlari ke kamar mandi. Paling tidak berada di sana lebih baik ketimbang menerima tatapan aneh Taehyung. Apa ada sesuatu yang dia ketahui?

Atau jangan-jangan dia cerita pada Taehyung?

*

Taehyung

Seberapa besar kita sebaiknya menaruh kepercayaan pada orang lain?

Pertanyaan itu yang sekarang menghantui kepalaku. Begitu selesai dengan wawancara lainnya di kantor polisi, aku kembali untuk mengajar. Dan salah satu mahasiswi menghampiriku begitu kelas selesai dan menanyakan pertanyaan seperti itu.

“Apa tidak masalah memercayai sesuatu karena sesuatu yang subjektif, Prof?” Begitu dia bertanya padaku di luar pintu kelas.

Awalnya aku tidak begitu mengerti kenapa dia menanyakanku hal seperti itu. Aku ahli genetika, bukannya seorang psikolog atau ahli filsafat. Tapi di sisi lain aku mengerti. Genetika juga begitu. Teori evolusi. Aku bahkan menguasainya.

Teori Charles Darwin, Lamarck, aku menghafal semuanya meski aku ragu apa aku harus memercayai hal yang berlawanan dengan kepercayaanku, agamaku.

Aku tidak bisa memberi jawaban yang spesifik, jadi aku hanya bilang pada mahasiswi itu, “Tidak ada ukuran pasti soal kebenaran dan kepercayaan. Semuanya berasal dari hati.”

Dan sekarang aku menggunakan jawaban itu untuk menjawab pertanyaanku sendiri.

Seberapa besarkah aku menaruh kepercayaan pada orang terdekatku?

Seberapa percayakah aku pada mereka?

Apa aku benar-benar memercayai mereka?

Sulit untuk mengatakan “ya” ketika kau punya pengalaman pahit mengenai ini. Trust issues. Kupikir itu hanya sebutan zaman sekarang, sampai akhirnya aku mengalaminya.

Terkadang mempercayai seseorang mempertaruhkan hati, jiwa, perasaan. Dan saat dikhianati, semuanya hancur. Tidak ada hati, tidak ada jiwa, tidak ada perasaan. Yang tersisa hanyalah sebuah penyelasan karena salah memercayai orang.

Dan melakukan hal yang sama akan terasa sulit, karena pada dasarnya manusia belajar dari kesalahan.

Aku tidak tahu seberapa besar aku harus percaya tentang kasus ini. Tentang Hoseok, Jimin, Jungkook, Yoongi, atau polisi. Sulit untuk memercayai sesuatu, karena hatiku mengatakan hal lain.

Otakku percaya bahwa tidak mungkin salah satu dari kami membunuh Hoseok.Dan konyol sekali Hoseok mencoba memberitahu hal buru tentang kami.

Tapi di sisi lain hatiku menentukan takaran kebenaran lainnya.

Ada kemungkinan Hoseok tidak berbohong.

Karena Hoseok benar. Dia benar soal diriku. Entah bagaimana dia tahu, tapi dia benar.

Ya, Hoseok benar soal Jaehyun. Soal video itu. Aku pelakunya.

Aku yang menyebabkan kegagalan pernikahan Jaehyun.

Dan bisa jadi, Hoseok juga benar soal teman-temanku.

Kurasa ada hal yang kami sembunyikan. Atau, kami memang terlalu sering menyembunyikan banyak hal, tapi tak satupun yang peduli.

Apa itu salah satu definisi teman? []

*

Arata’s Noteu:

Okay, hands up, pals. Mari kita mulai kupas satu-satu. This file gonna be longer than the first file, so I hope you can stick with me until the end of the story.

Anw, ada spekulasi baru?

In The Up and Down ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang