Yoongi
Bersalah. Sebuah perasaan tak asing itu kini muncul lagi, merasukiku.
Aku dituduh membunuh orang karena orang itu tahu aku ini pembunuh. Kelihatan ironis sekali.
Yah, Min. Hidupmu itu memang ironis mampus. Benar tidak mau mengakhirinya saja?
Otakku ini lebih bajingan lagi. Ini sudah ketiga kalinya dalam lima tahun terakhir aku bangun menemukan diri berada di atap gedung lantai tujuh—atap apartemenku sendiri—dan siap terjun dan memeluk trotoar dari atas sini.
Tidak sadar. Sama sekali tidak sadar. Tapi pada konsultasi terakhir yang kulakukan, mereka bilang aku bukanlah pengidap sleepwalking atau semacamnya.
Jadi kesimpulan terbaik sementara yang kupunya adalah, aku sendiri yang membawa diri dalam posisi siap bunuh diri—bahasa halusnya, memeluk trotoar dengan cara melompat dari gedung tinggi (terlalu detail, kurasa)—dan akhirnya sadar bahwa aku sendiri belum mau mati.
Coba sebutkan hal yang lebih konyol daripada itu.
Sekarang aku mencoba membuka semua hal yang bisa kubuka.
Aku menjadi tersangka. Dan tidak ada yang lebih tahu dari diriku kalau itu mungkin. Kalau saja berjalan untuk bunuh diri bisa semudah itu, mungkin membunuh orang lain akan jauh lebih mudah, bisa saja terjadi tanpa aku sadari.
Ah, jadi sekarang aku bahkan mencoba membenarkan tuduhan itu. pengkhiatan atas diri sendiri, bagus sekali.
Aku memnunduk, bersandar pada tembok dekat pintu menuju ke atap gedung, kemudian menggeram. Kupikir ini cara terbaik untuk menghilangkan stres, tapi ternyata tidak ada gunanya. Selagi merenung, aku merasakan sesuatu di dalam sakuku bergetar. Ponsel.
Ada pesan yang masuk. Dua.
Yoon, si cleaning service itu katanya dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Awalnya aku mengernyit, mencoba mencerna siapa yang dimaksud dengan gadis cleaning service. Butuh tiga detik—bahkan lebih untuk mengingatnya. Itu Mira. Tapi kenapa dia dibawa ke rumah sakit jiwa? Apa ada sesuatu yang salah?
Aku tadinya mau membalas pesan itu, tapi pesan baru lagi muncul, dari pengirim yang berbeda.
Hai. Merindukanmu pagi ini. Bisakah aku datang ke apartemenmu?
Satu-satunya yang ingin kulakukan hanya melempar ponselku, agar tidak perlu membalas pesan tadi.
Tapi sebelum aku menyadari ada cara lain selain melempar ponsel, tanganku sudah melempar ponselku hingga terjun dari atap gedung.
*
Jimin
Kakakku ada di ruang tamu. Satu botol kaca bir menjadi temannya, sengaja ia jepit dengan lengan kanannya. Dia tertawa, kemudian menangis.
Kurasa aku pulang di waktu yang tidak depat.
Aku merogoh sakuku, mengirimi pesan. Tadinya aku mau kirim satu lagi, tapi kakakku sudah lebih dulu melihatku, dan spontan dia berdiri. Buru-buru aku menyakukan ponsel dan masuk, menutup pintu. Baru saja aku mau berbalik, kakakku sudah lebih dulu memelukku, menyandarkan kepalanya pada dadaku.
Dan dia menangis.
“Kenapa kau lama sekali?” omelnya. Dia mabuk. “Kupikir kau menyusul Ayah dan Ibu.” Oke, mabuknya yang kali ini lebih parah.
“Maaf. Ada urusan di kantor polisi,” kataku, kugerakkan lenganku untuk merangkulnya, merapatkan posisi kami. “Kau menunggu cukup lama ya?”
Kakakku mengangguk, kepalanya bergerak di dadaku. “Aku membutuhkanmu.”
Sebenarnya yan aku butuhkan kali ini bathub. Aku butuh kasurku. Tapi kurasa sebelum itu aku harus mengurusi ini.
Hidupku memang tidak pernah waras.
Kutundukkan kepalaku kemudian menciumnya, mengelus punggungnya dengan telapak tanganku.
“Jadi bagaimana aku harus memperlakukanmu, Kak?”
Dia tertawa, melingkarkan lengannya, kemudian menciumku lagi.
“Perlakukan aku dengan kasar malam ini, Jim.” []
*
Arata’s Noteu:
Yang namanya gila itu pasti ada penyebabnya. Lol. Tahan umpatannya ya gais, aku mau ngumpat duluan soalnya :’)
Btw guys, aku sama ivy (xiriusstar) bikin dollar. If you don't mind kindly visit dollaretjeh yaa, tysm♡
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Up and Down ♤ (✓)
FanfictionMalam itu seharusnya hanya ada acara reuni. Tidak lebih. Jelas sekali pembunuhan Jung Hoseok tidak masuk dalam daftar Malam itu, semuanya berubah. Dan hanya ada dua pilihan bagi ke empat sahabat lama yang akhirnya bertemu lagi. Membiarkan hidup mer...