File 2, Page 5

2.9K 699 223
                                    

Rima

Di sisi lain aku merasa sedikit bersalah. Aku sudah bertunangan, dan membawa seorang laki-laki ke dalam apartemenku terasa kurang pantas.

Tapi niatku baik kok. Sumpah.

Taehyung berjongkok di depan pintu sambil memakai sepatu, mengikat tali sepatunya sekali lagi kemudian berdiri.

“Thanks,” katanya sembari menepuk pundakku. Aku tersenyum namun mengangkat sebelah alis.

“Astaga, Tae. Jangan bilang kau dosen bahasa Inggris juga.”

“Kau bercanda? Aku lebih sayang negara sendiri,” dia tertawa karena ucapannya sendiri, “atau... oke. Lidahku lebih cocok bicara bahasa Korea daripada bahasa Inggris.”

Kami berdua masih sama-sama tertawa ketika keluar dari pintu. Aku menutup pintu apartemenku dan mengantar Taehyung untuk berjalan ke lift.

“Kau tidak perlu mengantarku, Rim.” Taehyung menekan tombol lift agar tidak tertutup lebih dulu, seolah memberiku kode untuk keluar, tapi aku tidak beranjak sedikit pun, tetap pada posisiku, berdiri di sampingnya.

“Aku mau ke minimarket. Jadi sekalian saja,” tukasku. Yah, walaupun ide ke minimarket itu baru muncul sekitar tiga detik yang lalu. Taehyung menatapku sejenak, nampak ragu. Tapi akhirnya dia menutup pintu dan menekan tombol ‘1’ pada lift.

“Hei, Tae.” Aku mencoba membuka percakapan baru dan dia langsung menoleh. “Boleh aku tanya sesuatu?”

Taehyung mengangguk tanpa bicara. Kedua tangannya ia larikan ke dalam saku celananya, dan dia kelihatan tenang sekali. Anehnya mengeluarkan satu pertanyaan saja membuatku pusing. Di saat seperti inilah baru aku sadar memberi jawaban jauh lebih mudah daripada bertanya.

“Boleh aku tanya kenapa kau dan Marie bercerai?”

“Benar-benar ingin tahu?”

“Itu sebabnya aku bertanya.”

“Jangan endus hidup orang, Kawan. Kita bahkan baru bertemu. Urus hidupmu sendiri, Rim.”

Untungnya, percakapan itu hanyalah sebuah skenario yang diciptakan otakku. Sebuah skenario berdasarkan spekulasi. Akan lebih baik aku tidak bertanya. Untuk beberapa alasan.

Jadi aku memutuskan untuk mengganti pertanyaannya.

“Bagaimana rasanya menikah?”

Taehyung menoleh, bibirnya masih tertutup rapat. Namun sesuatu di dalam tatapannya memberi efek semacam rasa terindimasi, dan itu membuatku menyesal. Tidak seharusnya aku bertanya.

“Maksudku... um. Lupa—”

“Mau menikah?”

“Eh?”

Kali ini keningku mengerut. Aku menatap Taehyung karena kalimatnya barusan. Awalnya kupikir dia bercanda—dari dulu aku tahu kalau ada sesuatu yang aneh dari cara laki-laki ini menyampaikan lelucon—tapi ini bukanlah salah satu candaannya. Dia serius. Dan aku makin yakin karena di detik berikutnya dia yang balik bertanya.

“Mau menikah dengan Jungkook?”

Oke. Aku salah. Biar aku tarik kata-kataku. Menjawab pertanyaan juga sulit. Dan mendapati nama Jungkook dalam pertanyaan itu membuatnya semakin sulit.

Harusnya aku bilang “ya”, aku tahu itu jawabannya. Tapi kali ini aku ragu. Aku tidak bisa memberi jawaban yang akurat. Maaf, Taehyung.

“Aku tidak bisa jawab sekarang.” Raut wajah Taehyung mudah sekali ditebak. Dia kebingungan, tapi aku sudah menduganya.

Untuk mempermudah keadaan aku bisa saja menjawab dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Mudah. Tapi memikirkan mana yang tepat untuk dijadikan jawaban pertanyaan Taehyung tida semudah yang dibayangkan. Dan itu jelas akan memalukan karena sayang sekali, aku bukan cenahyang yang punya kemampuan membaca masa lalu maupun masa depan.

In The Up and Down ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang