File 2: Man In The Mask

3.7K 832 150
                                    

Page 1
--

Jimin

Namaku masuk jadi tersangka. Dan polisi memberiku status sialan itu hanya karena alasan yang sepele.

“Kemungkinan salah satu dari kalian membunuh Hoseok untuk mencegahnya buka mulut dan tidak menyebarkan rahasia ini.” Aku tidak ingin mengolok Namjoon, tapi ini terdengar menyebalkan. “Atau mungkin kalian berempat merencakannya.”

Punggungku yang semula bersandar pada punggu kursi kini berubah tegak. Aku benci ditatap begitu, seolah aku yang bersalah di sini.

“Namjoon, menyingkirlah. Biar aku yang tangani ini.”

Suara derit pintu terdengar, membuat kepalaku dan Namjoon menoleh ke arah pintu. Seorang laki-laki tinggi dengan aksen Korea ala orang Barat muncul. Segelas kopi yang dia bawa berhasil membuat seisi ruangan beraroma kopi sekarang.

“Lebih baik kau urus anggota keluargamu itu dulu,” komentar laki-laki itu. Dia bersikap biasa, tapi Namjoon kelihatan kesal. Kalimat yang terucap dengan santai itu jelas bermaksud menghinanya.

“Kau tahu, Chicago-Man, lebih baik kau kembali dan bersihkan patung kebebasanmu itu.”

Sejauh yang kutahu, Namjoon ini orang paling anti-rasis sedunia. Tapi kurasa gambaran itu pudar dari otakku hari ini. Melihat wajah Namjoon, entahlah. Aku merasa dia bukan hanya bersikap rasis pada si setengah bule atau apalah ras laki-laki ini, tapi ada sebuah amarah di sana.
Aku pandai dalam mendeteksi dendam dan amarah. Itu namanya mendeteksi satu kaum.

Namjoon beranjak keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi, membanting pintu sekuat yang dia bisa hingga orang yang berada di dalam ruangan—termasuk aku—tahu bahwa pintu itu retak.

“Oke. Lupakan soal itu. Aku ke sini karena harus menyelesaikan sesuatu denganmu.” Laki-laki itu kembali bicara, masih dengan gaya tak acuhnya. Sebelah kakinya naik ke atas meja selagi kedua tangannya ia jadikan bantal untuk kepala.

Dia benar-benar polisi, kan?

Dia menatapku dengan datar, sama sekali tanpa ekspresi. “Mengaku saja. Aku akan membuat keringanan atas penahananmu kalau mau mengaku.”

“Apa?”

“Aku menyuruhmu mengaku.”

Dia ini gila. Kepekaannya nyaris nol. Tahukah dia itu pertanyaan retoris? Ya ampun. Dan ternyata kepeduliannya juga nol. Bahkan minus.

Aku tertawa pelan, mengernyitkan kening tatkala dia masih memandangiku. “Kau menyuruhku untuk mengaku? Tanpa bukti? Dan kau menyebut dirimu polisi. Hah, lucu sekali. Ada lelucon yang lain?”

Ekspresinya masih datar, tapi aku tahu pandangannya semakin menusuk. Laki-laki ini seakan punya kekuatan untuk membuat semua orang merasa bersalah hanya dengan tatapannya. Kalau laki-laki ini jadi Sailor Moon, kurasa Sailor Moon hanya punya 1 episode karena lawannya sudah bertobat karena ditatap lamat.

“Aku memberian penawaran bagus. Lebih baik lakukan daripada menyesal.”

Ini pelecehan. Ini keterlaluan!

Buru-buru aku berdiri, mendorong kursi hingga terjatuh ke lantai. Persetan. “Aku mau pergi,” kataku. Laki-laki itu masih dengan sikap tak acuhnya, posisi seenaknya. Yang heboh justru polisi lain, yang lebih kelihatan amatiran.

“Kau tidak bisa—”

“Aku punya hak untuk tutup mulut dan mencari pengacara jika aku benar-benar dijadikan tersangka,” potongku. Si amatiran itu kelihatan tersentak.

Sama sekali tak ada niatku untuk memicu pertengkaran atau perdebatan di sini. Menjawab semua ini dengan kepala dingin bukanlah hal yang sulit. Polisi sialan ini yang membuatnya sulit. Sialan.

Begitu aku melangkah ke pintu, meraih kenop, laki-laki itu berteriak di belakangku tanpa bergerak. “Aku sudah menawarkan lho.”

Aku menoleh ke belakang, tersenyum seikhlas yang kubisa—dan sayangnya menijikkan rasanya tesenyum pada polisi yang bahkan tak beretika seperti dia.

“Silahkan antar surat panggilan kalau butuh. Aku dan pengacaraku akan datang.”

*

Mira

Sudah hampir tengah malam. Dan ke empat laki-laki itu masih ada di dalam. Aku jadi merasa agak bersalah.

Yoongi—si laki-laki permen itu—sampai sekarang belum keluar, masih ada di ruangan itu. Dan entah kenapa aku masih di sini, masih menunggu dia keluar dari ruangan interogasi.

“Kau mau kopi?” Aku menoleh, mendapati seorang laki-laki berseragam polisi, berparas tinggi, menyodorkan segelas kopi ke arahku.

Untuk beberapa saat, aku masih memandanginya. Dia tidak tersenyum namun auranya terasa, entahlah, tidak berbahaya, mungkin?

Aku baru saja mau menggerakan tangan, menerima gelas kopi. Tak bisa kupingkiri kalau aku haus. Aku lapar. Tapi begitu tanganku terulur, kopi itu tidak berada di tanganku.

Dengan gerakan cepat gelas itu melayang, tertumpah di bajuku hingga aku menjerit.
Tapi, tidak. Bukan itu yang jadi alasan utama aku menjerit.

Bukan karena panasnya kopi. Melainkan karena cairan merah yang seketika terciprat ke arahku, ikut mengotori bajuku, kemudian polisi itu terjatuh menghantam lantai tanpa mengeluarkan suara apapun.

“TIDAAAK!”

Sekali lagi, sebuah pembunuhan terjadi di depanku. []

***

Arata's Noteu:

Happy satnight, ehe~ gimana gimana nih? ♥

In The Up and Down ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang