File 1, Page 4

4.3K 919 192
                                    

Yoongi

"Hei."

Sebelumnya aku tidak pernah menyapa orang lebih dulu, terutama orang yang terbilang asing yang tengah menangis balkon kantor polisi sembari menikmati hembusan angin malam.

Tapi itulah yang kulakukan sekarang. Kurasa ini juga lebih baik daripada merokok sendirian di luar. Kalau dpikir-pikir, aku butuh teman bicara sebelum menghadap dan ditanyai.

Kuharap Jungkook atau Jimin tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, atau paling tidak jangan libatkan aku. Datang ke sini saja sudah merepotkan.

Gadis itu mengangkat kepalanya, memandangiku. Aku hanya diam, sibuk membakar ujung rokok sebelum menyesapnya. Aku nyaris tak mengenalnya, sebenarnya. Tapi aku tahu dia. Gadis yang membersihkan lorong hotel tempat kami reuni-dan menumpahi teh ke jasku tanpa sengaja. Di situ Jimin marah-marah.

"Kau datang," dia bergumam pelan, suaranya masih terdengar serak. Nampaknya dia menangis hebat. Apa yang dilakukan Namjoon padanya sih?

"Kau menyebut namaku juga, jadi aku dipanggil."

Aku tidak bermaksud menyalahkan. Tapi dia nampaknya menangkap kalimatku sebagai sebuah pernyataan bahwa dia merepotkanku, jadi dia kembali bergumam, "Maaf."

Ini kenapa aku benci wanita. Tapi melihatnya begini membuatku merasa aku masih normal. Karena aku masih peduli.

"Apa para polisi melakukan sesuatu padamu?" tanyak. Kuembuskan asap rokok dari mulut selagi menyelipkan rokok ke sela jari. "Mereka tidak main tangan, kan?"

Dia menggeleng, namun suaranya terdengar bergetar. "Salah satu dari mereka bilang aku..." Dia tidak melanjutkan ucapannya, justru menangis. Kedua telapak tangannya menangkup wajahnya, berusaha menyembunyikan wajahnya.

Salah satu polisi pasti dengan gamblangnya menuduh gadis ini. Aku yakin. Beberapa polisi dengan mulut lebar selalu ada di tiap kantor polisi. Aneh sekali mereka bisa lulus tes tanpa kontrol mulut.

Dia masih terus menangis, dan aku merogoh saku, mengeluarkan salah satu rokok dari kotak. Berpikir untuk memberi ini pada gadis ini, tapi ini lebih seperti tindak kriminal di mana aku memberi narkotika. Kelihatannya dia bahkan masih anak sekolah.

Kalau ada remaja yang menangis, apa permen membantu?

Aku mematikan rokok, membuangnya ke tempat sampah meski belum setengahnya habis terbakar. Sambil merogoh saku, kuberikan permen di dalam saku celanaku padanya. "Biasanya anak remaja suka permen."

Ini mungkin konyol. Bahkan keponakanku yang berumur 5 tahun lebih memilih lego ketimbang permen satu ember. Tapi satu permen di tanganku berhasil membuatnya menoleh, matanya terbuka dan air mata berhenti meluncur dari matanya. Dia mengambil permen itu dari tanganku.

"Rasa mint. Dingin." Info yang penting sekali, Min Yoongi. Berguna sekali.

Dia pasti tahu itu konyol. Tapi melihatnya tertawa kecil terasa sedikit melegakan, lebih baik ketimbang dia menyembunyikan wajahnya. Entah dia menertawakan ucapanku atau dia merasa lebih baik, aku juga tidak begitu peduli.

"Terima kasih..."

Mengerti apa yang membuat kalimatnya menggantung, aku memberitahunya namaku. "Panggil saa Yoongi."

"Terima kasih, Kak Yoongi." Bibirnya tipis, namun sedikit melengkung. Manis, harus kuakui. Dan sukses membuatku mengingat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tak kuingat.

Dia membuka bungkus permen dan memasukkan permen ke dalam mulutnya. Meski pipinya masih basah, dia kelihatan lebih baik dari sebelumnya. Kurasa aku akan membuat list dan judul baru dalam catatanku, ilmu baru, berhubung aku sendiri payah dengan urusan remaja dengan jenis kelamin perempuan . Permen bisa menghibur seorang gadis. Oke, tercatat.

Aku awalnya mau menyulut rokok baru, tapi gadis itu kembali bersuara. "Kurasa kau orang baik," katanya. Aku menoleh namun tidak membalas apapun, membiarkannya kembali bicara. " Awalnya kukira kau agak... entahlah. Jahat. Matamu mendukungku menilaimu sebagai karakter antagonis, soalnya."

Kalimat itu menggelitik perutku seketika, tapi aku tidak bisa tertawa. "Ngomong-ngomong, aku Mira. Maaf membuatmu datang ke sini."

Tepat di saat dia menyelesaikan kalimatnya, seorang laki-laki dengan seragam polisi muncul. "Maaf menganggu, tapi, Saudara Min Yoongi, sekarang giliran anda."

Aku menyunggingkan senyuman-padahal bingung untuk apa-dan melangkah menjauh. "Santai saja," kataku. "Jangan menangis lagi, oke? Itu parah sekali."

Mira tersenyum dan mengangkat tangan, yang anehnya memberiku dorongan untuk ikut balik melambaikan tangan. Tapi aku menahannya, mengepalkan tangan dan berjalan mengikuti polisi tadi.

Kalau aku melambaikan tangan, aku pasti dikira baik, mungkin sangat baik. Padahal aku tidak begitu.

Sejujurnya, Mira tidak salah menyebut namaku dan membuatku kemari. Dia benar.

Karena kantor polisi itu tempat penjahat, bukan? Dan ini cocok untukku. []

*

Arata's Noteu:

Wdyt about mamas Yungi? 😏

In The Up and Down ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang