--Page 1--Rima
Untuk pertama kalinya, aku merasa sakit kepala serasa mau mati saja. Kepaku berdenyut hebat, dan pandanganku buram. Butuh lebih dari lima detik untuk membuat mataku lebih fokus, meski hanya sedikit.
Aku bisa saja menyalahkan mataku yang rabun jauh, tapi ini bukan hanya rabun jauh. Semuanya rabun. Gambarannya kabur. Aku tidak bisa merasakan diriku sendiri untuk beberapa saat sampai aku mencoba menggerakan tangan yang ternyata tidak bisa kugerakkan.
Aku terikat.
“Oh, Rima. Sudah sadar?”
Suaranya familier. Aku harus berusaha keras untuk bisa menangkap gambaran sosok yang tengah berdiri di depanku sambil mengenakan sesuatu pada tangannya.
Sarung tangan?
Dan... itu Jimin?
“Jimin, kau kah itu?” aku mencoba memanggil, “pandanganku buram. Aku tidak bisa melihat dengan jelas.”
Sosok itu melangkah mendekat sebelum melarikan tangannya pada pipiku. Sarung tangannya kasar, dan aku jika tebakanku benar, sarung tangan ini sudah lumayan berdebu. “Ini aku, Rima. Kau benar.”
Mendengarnya membuatku bisa tenang. Pada awalnya kurasa begitu. Namun sesuatu terasa berbeda. Suasananya mencekam. Dan seharusnya teman tidak membiarkan temannya terikat seperti ini, kan?
“Jim, bisa tolong lepaskan aku? Aku—”
“Maaf, Rim. Aku membutuhkanmu tetap begini.” Tahu-tahu sebuah kecupan kudapatkan di pipi. Napas Jimin terasa begitu hangat namun memberi sensasi semacam ancaman. Atau mungkin ini memang benar-benar ancaman. “Aku butuh kau di sini, Kang Rima. Dan aku butuh Jungkook untuk jadi sasaran.”
Jungkook?
“Kenapa Jungkook?” tanyaku. Tanganku masih berusaha untuk bergerak, namun hasilnya nihil. Yang ada aku justru merasa ikatannya semakin erat. “Apa-apaan sih ini, Jim?”
“Cinta itu memang buta ya, Rim?” Dia justru terkekeh sembari melangkah ke belakang. Bisa kurasakan rambutku yang dipelintir kecil, dan tak lama Jimin berbisik di telingaku. “Dunia ini memang penuh orang berdosa. Jadi agar orang yang berdosa kelihatan lebih suci, orang yang terlalu berdosa harus dilenyapkan, bukan? Kau setuju kan, Rim, kalau Jungkook itu salah?”
“Tapi kenapa Jung—”
“Sttt.” Desisan Jimin terdengar begitu pelan, seperti sebuah radio dengan volume yang mendadak dipelankan hingga di titik terbawa. Aku tidak begitu bisa menangkap apa yang Jimin katakan setelahnya, karena rasa kantuk menyerang.
Perasaan ini lagi. Sesuatu yang tajam menusuk, dan mataku berubah berat. Tidak seharusnya aku tidur. Tidak seharusnya aku ada di sini.
Namun sebelum mata benar-benar terpejam, aku bisa menangkap sedikit dari yang Jimin ucapkan.
“Kematianmu akan jadi balas dendam termanis untuk Jeon Jungkook, Rima. Berterima kasihlah padaku.”
*
Taehyung
Aku pernah ke New York dan menaiki roller coaster terpanjang (entah yang ke berapa, aku lupa). Namun mendengar ucapan Yoongi, rasanya roller coaster itu tidak ada apa-apanya.
Bagaimana Jimin bisa melakukan itu semua?
Well, kurasa jawabannya memang sudah Yoongi beritahu. Hanya saja otakku tidak bisa menyaring semuanya. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa mempercayainya. Sayangnya ilmu genetika tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan pertemanan secara sosial. Mungkin kapan-kapan aku harus ambil kelas sosiologi.
Yoongi bilang Jimin homoseksual, yang berarti Hoseok memang benar. Yoongi membunuh istrinya (tapi sebenarnya ini hanya masalah sisi psikologis saja, karena mendengar cerita, bagaimanapun Yoongi ini korban) dan dia juga pasangan Jimin.
Aku merasa seseorang baru saja meledakkan bom atom, dan radiasinya masih besar dalam kepalaku. Hanya saja, seolah belum cukup Yoongi pun bilang bahwa Jungkook selingkuh.
Sebenarnya bukan info itu yang mengagetkan. Tapi ini titik di mana aku harus mengakui bahwa aku sudah tahu. Karena Jungkook berselingkuh dengan adikku.
This world must be really small, isn’t it?
Yoongi merapatkan mantelnya kemudian membenarkan topi. “Sekarang kita harus menemui Jungkook. Ponselnya sama sekali tidak aktif.”
“Kapan kau menelponnya?”
“Sejak tadi. Tapi nomornya tidak aktif.” Yoongi kelihatan sedikit kesal.
Yang kutahu, hari ini Taerin juga keluar. Dia bilang akan menemui seseorang sejak siang tadi. Apa dia menemui Jungkook?
Aku buru-buru merogoh saku, mengambil ponsel. Aku harus bertanya pada Taerin. Dan jika memang benar, aku ingin Taerin pulang sekarang. Dia jelas tidak akan aman. Dan bertemu dengan Jungkook merupakan kesalahan.
Namun aku tidak menelpon Taerin. Aku tidak perlu melakukannya. Karena nama Taerin muncul lebih dulu di layar ponselku. Dia yang menelpon.
Segera kugeser layar untuk mengangkat panggilan. Kemudian, “Taerin, kau di mana? Apa kau—”
“Kak Tae, kurasa kau harus menyusul Jungkook.”
Dugaanku benar. Dan ini tidak baik. Mulutku tiba-tiba penuh dengan ocehan dan ceramah yang siap untuk dikeluarkan, namun satu-satunya yang bisa kulakukan hanya diam ketika Taerin kembali bicara.
“Kak Jimin menghubungi Jungkook dan bilang bahwa kekasih Jungkook tertabrak mobil.”
Kurasa ini roller coaster lainnya.
Sebenarnya apa yang Jimin lakukan? []
*
Arata’s Noteu:
Tbh nih ya gais, aku tadinya mau udahin ini di part ini aja. But for the sake of both of us, aku bakal coba ngakhirin seenak mungkin. But still, don’t expect too much ya~ Dan siap-siap diputar-putar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Up and Down ♤ (✓)
FanfictionMalam itu seharusnya hanya ada acara reuni. Tidak lebih. Jelas sekali pembunuhan Jung Hoseok tidak masuk dalam daftar Malam itu, semuanya berubah. Dan hanya ada dua pilihan bagi ke empat sahabat lama yang akhirnya bertemu lagi. Membiarkan hidup mer...