Jungkook
Aku kenal Johnny. Paling tidak aku tahu lebih banyak ketimbang Namjoon, meskipun mereka berdua rekan kerja.
Atau mungkin “rekan” terlalu berlebihan untuk digunakan. Tidak cocok untuk Namjoon dan Johnny.
Penyelidikan tentang kasus Hoseok tetap berlanjut meskipun salah satu yang ambil andil meninggal. Kabar baiknya, ada isu bahwa kematian Johnny berhubungan dengan penyelidikan kasus Hoseok, dan itu berarti lingkupku untuk bergerak semakin sempit karena ada kemungkinan aku membunuh Johnny juga. Kabar yang baik sekali. Terima kasih.
Ponselku sudah bergetar sejak kemarin malam, dengan nomor yang sama yang jadi penyebab getaran. Tapi hari ini dia tidak menelpon. Mungkin dia mulai mengerti. Ya, mungkin.
Ala bisa karena biasa. Sekarang peribahasa itu berputar di otakku, seolah jadi tembok yang kutabrak dengan wajahku. Sebuah tepukan pada pundakku membuatku menoleh.
“Aku bawa sarapan.”
Tanpa ekspresi, tatapannya datar, dia duduk di sampingku, menyodorkan tempat makan dua susun berwarna hijau.
“Masak sendiri?” tanyaku, dan dia mengangguk. Aku hanya tersenyum, menggumamkan “terima kasih” dan dia hanya membalasnya dengan gumaman.
“Tidak mau menyuapiku?”
“Jeon, jangan membuatku makin merasa bersalah dengan ini semua.” Dia membiarkan jemarinya bertautan selagi kepalanya menunduk.
Aku tahu seharusnya aku merasakan hal yang sama, bahkan lebih dari pada yang dia rasakan. Tapi aku sudah muak. Terlalu lama merasa bersalah terkadang membuat seseorang kebal, sampai-sampai rasanya sudah tak ada lagi penyesalan di dalam sana.
Aku meletakkan tanganku di atas jemarinya yang bertautan, membuatnya menoleh menatapku.
“Tak apa,” kataku, “sejak kita memulai, semua ini memang kesalahan.”
*
Mira
Aku sengaja dibawa ke rumah sakit untuk alasan psikologis.
Beberapa polisi bilang kesaksianku tidak bisa dianggap kuat sekarang dengan keadaanku. Mereka mengantarku ke psikiatri untuk konsultasi kecil-kecilan, tapi aku merasa malah diperlakukan seperti orang gila.
Dulu tetanggaku pernah bilang aku gila, tapi tak pernah terpikir kalau benar-benar akan diperlakukan begitu. Rasanya tak seperti yang aku bayangkan.
Mungkin mereka hanya menanyaiku, membiarkanku berbaring di kursi yang lebih mirip tempat tidur, tapi rasanya jauh sekali dari kata nyaman. Dan kalau hasilnya nanti menunjukkan adanya sebuah keanehan dalam tingkah lakuku, itu salah mereka. Demi Tuhan, salah mereka!
Mereka menanyaiku seolah aku ini baru saja mengalami gangguan jiwa pasca trauma. Aku akui memang melihat dua kali pembunuhan jelas membuatku terguncang. Tapi seharusnya mereka tidak membuatku makin terguncang. Gilanya mereka!
Satu jam berkonsultasi—sebenarnya lebih mirip seperti siksaan jiwa segi psikis—dan aku akhirnya bisa menghela napas, lega dan tenang. Aku memejamkan mata sementara beberapa suara polisi terdengar sampai ke dalam ruanganku—mereka bicara menggunakan pengeras suara atau apa?
Orang bilang mencuri dengar itu sesuatu yang tidak baik, tapi aku jamin bukan niatku untuk menguping. Tidak bermaksud. Telingaku hanya terus menyala, tidak ada tombol “off”. Dan sedetik setelahnya barulah aku menyesal mendengar.
“Kau yakin tetap mau mencatat kesaksiannya?”
“Tentu saja, untuk saat ini hanya itu yang—”
“Tapi bagaimana kalau dia justru menjauhkan kita dari kebenaran?”
Tidak. Tidak. Aku jamin tidak. Ya ampun. Mereka membawaku ke psikiatri dan sekarang mereka mau apa, menuduhku?
“Bisa jadi dia malah terlibat. Siapa yang tahu kebenarannya. Saat ini kita semua di dalam tempurung, kau tahu?”
Ya ampun. Tidak. Tidak. Bukan aku.
Aku ada di sana. Aku melihatnya. Aku ke sana karena si penghuni kamar berteriak, terdengar tembakan, dan aku membuka pintu.
Ada seseorang di sana, atau beberapa. Eh, tunggu. Ada berapa orang waktu itu?
Si penghuni kamar, aku, dan juga...Tidak. Ada orang lain. Ada yang lain. Bukan aku pelakunya. Bukan. Sumpah, bukan!
Sesuatu terasa berdegung di telingaku. Aku merengkuh tubuh, menutup telinga dengan kedua tangan seolah suara itu bisa redup, tapi kalimat itu terus terngiang.
Kalimat dari psikiatri tadi.
“Bahkan otak bisa menipu pemiliknya sendiri, Nona.” []
*
Arata’s Noteu:
Ya, nggak papa, yang. Aku yang salah, iya aku *mendadak baper*
So I’m gonna start open up their problems, yang jadi kemungkinan kenapa mereka dituduh bunuh Hoseok, dan sebenarnya gimana kejadiannya pas malem itu, let’s start slowly~
I already had one name, you are permitted to guess one.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Up and Down ♤ (✓)
FanfictionMalam itu seharusnya hanya ada acara reuni. Tidak lebih. Jelas sekali pembunuhan Jung Hoseok tidak masuk dalam daftar Malam itu, semuanya berubah. Dan hanya ada dua pilihan bagi ke empat sahabat lama yang akhirnya bertemu lagi. Membiarkan hidup mer...