•fifteen; decision•
"Saerin, ayo ke kampus. Kau tahu aku bosan sekali di kampus, jika tidak ada dirimu," ucap Brian sembari mengerucutkan bibirnya.
Saerin memandang Brian sekilas sebelum akhirnya ia menaruh atensinya pada jendela kamar miliknya. Brian mendengus ketika melihat caranya tidak berhasil.
Ia kemudian mencubit pipi kanan Saerin, "Heh, aku ini sedang berbicara dengan dirimu. Setidaknya beri aku respon. Aku seperti sedang berbicara dengan patung."
Yang dicubit hanya bisa menepis dengan kasar tangan Brian. Saerin memandang Brian dengan marah, "Kau itu suka sekali ya mengganggu ketenangan ku? Pergi saja sana," sinis Saerin.
Mendapat respon, Brian tersenyum senang. Ini baru Saerin yang Brian kenal. Sebetulnya, Brian tidak masalah kalau Saerin akan memarahinya atau tampak sinis kepadanya. Yang terpenting, Saerin masih mau berbicara dengannya juga sudah cukup untuk Brian.
Brian kemudian mengelus rambut Saerin dengan lembut. Tatapan matanya teduh, membuat Saerin betah memandangnya. Brian kemudian mengulas senyum, "Lebih baik jika kau memukul ku daripada melihat mu diam seperti ini, Saerin. Ayo, pukul aku saja. Lampiaskan semua amarah mu."
Berikutnya, Saerin memeluk Brian dengan erat. Air mata yang ia pendam sedari kemarin akhirnya tumpah ruah dan membasahi kaus yang Brian gunakan. Brian membalas pelukan Saerin tak kalah erat. Ia menenangkan Saerin dengan kata-kata ajaibnya.
Suara isak tangis Saerin terdengar pilu. Ia melampiaskan amarahnya dengan memukul lengan Brian dengan kencang. Toh, menurut Brian tidak sakit. Bahu Brian pun juga terkena amarah Saerin. Saerin menggigit bahu Brian dengan sekuat tenaganya.
"Menangislah, Saerin. Tidak apa-apa jika kau dianggap cengeng, aku tidak masalah. Tetapi, bagi semua kekesalan mu kepada ku. Jangan diam seperti tadi, aku tidak suka," kata Brian yang tangannya tidak berhenti untuk mengelus rambut Saerin.
Saerin hanya bisa mengangguk lemah. Kemudian, suara tangis Saerin kembali kencang. Pukulan di lengan Brian semakin banyak dan kekuatan Saerin semakin bertambah. Brian menahan ringisannya dikala ia merasa gigitan Saerin pada bahunya bertambah.
"Bri, hiks huhuhu, bisa kau panggilkan Jae untuk ku, hiks huhuhu?" pinta Saerin yang membuat Brian mengangkat sebelah alisnya.
"Untuk apa memanggil si ceking itu?" tanya Brian yang tangannya masih setia mengelus rambut Saerin. Kemudian, Saerin melepas pelukan Brian dan memukul dada Brian dengan kencang.
Brian meringis sembari memegangi dadanya, "Aduh, sakit tahu!" sungut Brian. Saerin mengelap air matanya dengan kasar dan mendengus melihat tingkah Brian.
"Kau ini sahabat ku 'kan? Ayo cepat panggilkan Jae untuk ku. Pokoknya, aku tidak akan menyentuh makanan yang kau bawa sebelum kau panggilkan Jae." Saerin melipat kedua tangannya didepan dadanya. Mata kucingnya menatap Brian dengan tajam.
Melihat hal itu, Brian mendengus. Ia mengambil ponselnya dengan kasar dari saku celana miliknya, "Aku memanggil Jae hanya karena permintaan dari mu, Rin. Awas saja kalau sampai kau tidak memakan kue dari ku," peringat Brian yang kemudian menempelkan ponselnya ke telinga kanan.
Mata kecil Brian memandang sinis ke arah Saerin. Saerin sendiri menjulurkan lidahnya kepada Brian, kemudian gadis tersebut bangkit dari ranjangnya dan bergegas ke kamar mandi.
"Cih, tadi aku suruh mandi dia tidak mau, giliran Jae ingin datang kesini ia baru mandi. Untung saja aku sayang kepada mu Saerin," imbuh Brian sembari memasukkan ponselnya kembali kedalam saku celana.
Ia sudah menghubungi Jae, katanya dalam waktu lima belas menit ia akan sampai. Brian hanya mengiyakan apa kata Jae dan memutuskan sambungan telepon. Sekarang, Brian bersantai di kamar Saerin dan menidurkan tubuhnya pada ranjang empuk milik Saerin.
Sedikit lagi Brian akan segera masuk ke alam mimpi, namun terganggu dengan suara ketukan pintu dari pintu utama. Seungwan sedang pergi hari ini, Brian bisa berada disini karena Seungwan yang menyuruhnya untuk menjaga Saerin. Mau tak mau Brian segera turun ke lantai bawah sembari merutuki tamu tersebut.
Brian berjanji dalam hati, kalau tamu tersebut adalah Jae, ia akan meninju wajah Jae, karena tadi ia sudah memberi tahu untuk segera langsung masuk ke dalam rumah Saerin.
Ia membuka pintu utama tersebut. Hampir saja ia ingin melayangkan tinjuan, namun tidak jadi. Brian menatap tamu tersebut dengan datar, "Oh, Hoseok ya? Untuk apa kau datang kemari? Masih berani kau menunjukkan wajah mu?"
Hoseok menelan ludahnya dengan kasar, "H-hyung, aku datang untuk bertemu dengan--"
"Hai Brian-- Oh, ada tamu." Jae datang dan langsung ditarik oleh Brian untuk berdiri di sebelahnya. Jae menatap Brian bingung.
"Pergi saja sana, tidak usah repot-repot datang untuk menemui Saerin. Kau lihat orang ini? Dia kekasih Saerin, sudah sana pergi," usir Brian dengan mata menatap tajam ke arah Hoseok.
Hoseok menatap Jae dan kemudian tersenyum tipis, "Ah, jadi kau kekasih Saerin? Maaf jika aku mengganggu kalian. Aku pergi dulu, permisi."
"Iya kau mengganggu," balas Brian dengan sarkas. Ia menarik Jae dan menutup pintu dengan kasar. Jae hanya menurut dan berjalan ke lantai atas sembari membawa gitas kesayangan miliknya.
Brian mengikuti Jae dari belakang dan Brian terkejut ketika melihat Saerin berlari kearah Jae dan memeluknya dengan erat. Jae tersenyum yang menyebabkan kacamata yang berada di hidungnya menaik dan balas memeluk Saerin.
Dengan senyum, Brian lebih memilih berbalik dan berjalan menuju dapur, "Jadi, Jae itu keputusan mu ya, Saerin? Baiklah, aku akan mendukung mu, jika itu yang terbaik untuk mu."
•fifteen; decision•
sabar ya, dikit lagi selesai kok^^
besok update lagi ah ;)
![](https://img.wattpad.com/cover/136687279-288-k786722.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine ✔
Fanfictionft. Jung Hoseok "Stop, it's over." - Hoseok Entahlah, ada sesuatu yang berbeda dengan Hoseok. Ia normal, seperti laki-laki pada umumnya. Namun, ketika ia bertemu Saerin, semua sifat Hoseok berubah. "Bukankah kita ini sama, Hoseok?" - Saerin Saerin i...