25. Harapan

1.2K 63 8
                                    

Pantaskah menggantungkan sebuah harapan pada ketidakmungkinan?

☁☁☁

Aku melemparkan paper bag itu di atas meja membuat manusia yang sibuk mengoceh tidak jelas memberhentikan aktivitasnya lalu pandangan mereka jatuh ke arahku.

Sebelum menjawab pertanyaan tersirat mereka aku terlebih dulu menyamankan posisiku di kursi kebanggaan milikku.

"Makasih yang dua hari lalu udah dateng, sampe bawa kado juga," ucapku sambil tersenyum sok manis, ketiga tersenyum semringah membuatku mengeram sebal. "ISH! KALIAN PURA-PURA OON YA?!"

Pekikan menggelegar yang keluar dari bibirku memang sedikit banyak memberikan tampang terkejut dari orang sekitar, tak terkecuali ketiganya.

"Lah lo kenapa, Le?" pertanyaan itu keluar dari mulut Arza, merasa dia tidak memiliki masalah denganku saat ini aku menggeleng saja.

Pandanganku beralih pada Dhaval dan Hana bergantian. "Dih. Iya sih, lo kenapa woi, kesambet?" Hana mengungkap pertanyaan serupa.

"Ini buat lo dulu yang pertama nanya," kataku memulai, Hana hanya mengerenyit menatapku. "Itu tas yang ada di situ tuh," aku menunjuk paper bag yang tadi kuhempas itu. "Gue kudu gak jajan berapa tahun buat lunasinnya?"

Merespons pertanyaan bernada sarkasme yang kuajukan Hana mengerenyit tak mengerti, kemudian ia mendengus. "Santai elah, itu gue minta beliin Papi buat oleh-oleh. Heboh banget sih lo kek emak-emak yang lupa belum ngangkatin cucian." Hana menjawab hal itu dengan santai tanpa beban.

Aku memijat pangkal hidungku sebelum benar-benar menatap Hana. "And yeah, gue lebih heboh lagi kalau anak-anak nyangka gue manfaatin temenan sama lo buat dapet barang-barang mahal kek gitu."

Hana menatapku dalam diam, sedetik setelah aku menyelesaikan ucapanku Hana menggeleng cepat. "Sumpah, Le. Gue gak ada maksud bikin lo tersinggung dengan itu semua. Itu cuma pure kepengen gue, gue juga gak berpikiran materi tentang ini semua, semua ini murni tentang rasa persahabatan," jelasnya dengan cepat dan berubah serius. "Plis, terima aja, itu gue udah mikirin jauh-jauh hari dan ngerengek sama Papi buat cariin itu."

Aku menghela napas panjang sebelum mengangguk pasrah. "Makasih banyak buat itu." Aku tersenyum tulus, Hana balas tersenyum. "Maaf banget gue jadi alay gitu ngomel-ngomel," lanjutku.

Hana mengangguk. "Udah elah santai aja lo, kek sama siapa. Makin tua jangan serius-serius amat gitu dah, umur pendek baru tau lo!"

Tanpa berpikir panjang aku menggeplak  bahunya. "Sialan!" Hana tertawa sambil meringis.

Pandanganku beralih ke arah dua manusia di depanku, lebih tepatnya ke arah makhluk bernama Dhaval itu. "Tapi gue gak bisa santai kalau sama dia!" telunjukku mengacung ke wajah tanpa dosa Dhaval. "Maksud lo apa?!"

"A-apa ... apa maksud gue maksud lo apa?" oceh Dhaval tidak jelas.

Jika tidak mengingat bahwa aku memendam kekesalan tingkat Dewa Neptunus penghuni Bikini Bottom padanya, aku pasti sudah mengajukan pertanyaan tentang maksud dari ocehan absurd itu.

"Lo inget gak ngasih gue apa?"

"Dia ngasih apa emang, Le?" sela Hana.

Aku tetap menatap Dhaval dengan sinisnya. "Wah! Hana gak lo kasih tau, Dhav? Kalau Arza?" aku melirik Hana dan Arza yang membisu. "Dia ngasih gue obat. Peninggi. Badan."

Sontak sepasang pupil mata dari kedua orang yang berperan sebagai pendengar itu melebar.

"Asli! Lo sinting?"

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang