15. Februari

1.4K 92 5
                                    

Latar hujan itu menjadi saksi, betapa tawamu pernah terukir tepat di depan mataku.

☁☁☁

Hello February!

Ya, aku lupa bahwa hari ini tepat Senin pertama di bulan Februari, entah kenapa aku sedikit bersyukur dengan adanya pemanasan global, hanya karena satu hal, yap, hujan di bulan Februari, kurasa intensitas air yang menimpa bumi di penghujung musim hujan ini lebih menyenangkan bagiku.

Tepat, seperti apa yang kuharapkan, gerimis mewarnai siang ini yang biasanya dilatari dengan sorot mencekam matahari.

Aku mengeratkan dekapan hoodie abuku seraya berjalan menyusuri koridor kelas sebelas IPA menuju kantin, oke kuingatkan sekali lagi, aku, sendirian.

Hana tidak bisa pergi ke kantin bersamaku seperti biasa. Karena ia-yang memang salah satu anggota penting di organisasi PMR di sekolahku itu-mengadakan kumpul dadakan.

"Icha!" anugerah terindah tiba, Icha baru saja keluar dari kelasnya dengan sweater hijau lumut miliknya.

Fyi, aku sangat-sangat-sangat sedih karena intensitas pertemuanku dan Icha sudah jarang sekali terlaksana, karena kesibukan masing-masing tentunya. Oh, Tuhan, padahal kami masih berada satu sekolah, bahkan koridor yang sama, bersebelahan pula! Miris.

Icha memberhentikan langkahnya lalu memberikanku ulasan senyum hangatnya. Aku rindu. Percayalah. Setelah sejajar dengannya, ia semakin melebarkan senyumnya. "Apa kabar, Le?" ada sesuatu yang menyayat hatiku, pertanyaan sederhana Icha seperti menusukku.

"B-baik, Cha," jawabku agak bergetar. "Lo?"

Ia tersenyum lalu mengangguk. "Udah lama ya."

Aku mengulum senyum sedih. "Kangen, Icha!" lalu aku memeluknya erat, menyalurkan kerinduan yang entah kenapa baru kurasakan.

Icha membalas pelukanku. Oke, jika kalian menganggap ini berlebihan, aku pun sedikit merasa demikian, tapi, sungguh, aku lebih merasa berlebihan jika kami melempar pertanyaan mengenai kabar, sedangkan kami sedekat itu? Oh!

"Heh! Teletubis! Kalian ngalangin jalan gue!" gertak seseorang sontak membuat pelukan itu terlepas, lalu aku dengan kesal menatap si empunya suara.

Mataku memicing, "Alay!" desisnya membuat sipitan mataku berubah jadi delikkan tajam.

"Siapa lo?!"

Ia mendengus pelan, lalu melengos tanpa menjawab ucapanku, belagu bangetttt!

"Siapa sih, Cha?" tanyaku pada Icha yang masih diam di posisinya.

"El, Azaziel Tarendra Arwan," katanya membuat mendengus geli.

"Gue gak nanya nama lengkapnya, Cha!" hal itu membuat tawa Icha berderai rendah menyamai ritmisnya gerimis yang masih setia menghunjam tanah.

☁☁☁

Bulir itu jatuh lagi menimpa tanah kering yang mulai retak, menerpa akar yang sudah merindukannya. Awan yang bergumpal berwarna kelabu itu setia menghiasi langit sedari tadi, meredam panasnya sang mentari.

Aku masih nyaman berada di sini, memerhatikan kristal bening yang tak peduli bila harus dijatuhkan ke tanah jutaan kali. Kepalaku mendongak, menatap pasukan itu menyerbu bumi dengan kesejukannya.

"Belum balik?" aku menoleh ke empunya suara, dan mendapati Arza dengan jaket abu-yang sialnya sama seperti yang kukenakan-menatap lurus dengan kedua tangan masuk ke saku celana abunya.

"Keliatannya sih gitu, lo kok juga belum balik sih?"

"Nunggu lo." Datar, namun mampu membuat suasana dingin tidak mampu menahan rasa hangat yang menyeruak ke rongga dadaku.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang