30. Malam Pelik

1K 61 2
                                    

Berharap adalah salah satu cara untuk menenangkan perasaan.

☁☁☁

Denting jam terus bergulir kala jemariku menari di atas papan ketik yang sengaja kutempeli sticker berwana baby pink. Malam ini aku harus merampungkan pengeditan makalah kelompok Biologi jika tidak ingin kena semprot besok pagi.

Embusan angin masuk lewat jendela yang sengaja kubuka, bunyi yang ditimbulkan dari angin yang menggerakan sebuah benda mengalihkan fokusku dari layar laptop.

Senyumku tersungging lebar kala melihat tersingkapnya tirai penutup jendela itu, bukan karena tirai yang tersingkap sebenarnya, lebih ke arah akibat dari terbukanya tirai. Yaitu pemandangan dream catcher pemberian Arza yang terlihat mengayun di sana, seolah bergerak untuk memberikanku semangat.

Latar pekat di belakangnya seolah menjadi latar paling tepat untuk manisnya warna yang terdapat pada benda dengan mitos yang berasal dari indi itu. Sejujurnya aku tidak pernah merasa sebahagia ini hanya karena melihat sebuah benda terayun.

Perasaanku membaik, Arza pernah peduli padaku, setidaknya itu cukup.

"AYAH PULAAANG!!" aku sontak mendesis begitu merasakan telingaku berdengung karena pekikan tidak waras dari seorang lelaki yang berada di luar kamarku.

Mataku terpejam sambil menggeleng pelan, menahan umpatan yang sebenarnya sudah gatal menggantung di ujung lidah.

Gedoran pintu kamarku semakin membuat usahaku semakin keras untuk tidak memaki lelaki sialan itu, "WOI LE! AYAH BALIK LE!"

"Tai! Berisik!" tak sabar, akhirnya aku mengumpat.

Gelak tawa Atthar menjadi balasan dari umpatanku, kemudian kudengar entakkan langkah yang semakin menjauh meninggalkan sisa-sisa tawa menyebalkan.

Kuatur napas sejenak sebelum menutup layar laptop dan berjalan meninggalkan kamar.

Di ruang keluarga pemandangan Atthar yang sibuk mengobrak-abrik koper Ayah juga Mama dan Ayah yang sedang mengobrol di sofa menjadi hal pertama yang kulihat.

"Cieee ... Ayah bawa apaan, Ta?" aku mendekat untuk duduk di sisi Atthar, mengikuti kegiatannya menjamah koper besar berwarna cokelat itu.

Kutarik sebuah kain berwarna pastel yang terselip di antara lipatan baju lainnya, aku langsung tertarik dan memutuskan untuk menyimpannya di belakang tubuh, takut-takut Mama juga akan jatuh cinta pada benda itu dan aku harus menguras energi untuk bernego dengannya.

"Lo mau cokelat, Kak?"

"Boleh-boleh." Aku menoleh pada Atthar dengan binar di kedua bola mata.

Atthar terdiam dengan raut berpikirnya. "Jangan deh. Ntar gendut, Bang Arza gak suka lagi."

Siapa yang mengajarinya menghina orang seperti ini?!

Gelak tawa Ayah dan Mama menambah kesempurnaan hinaan Atthar untukku.

"Belum aja mulut lo gue lakban."

"Lakban aku, Kak, lakban aku," balasnya dengan nada seperti wanita kurang belaian sebelum tawanya menggelegar mengisi seluruh ruangan.

Melihat mulutnya terbuka lebar, tanganku berinisiatif untuk menyumpal mulut tidak beradab itu dengan kaus kaki. Peduli amat jika benda itu sudah Ayah kenakan.

Sebelum Atthar mengamuk. Aku segera berlari dengan kain tadi dalam genggaman.

Tepat ketika langkahku memijak anak tangga, teriakan Atthar terdengar membahana, "AZALEA, LAKNAT!"

Sayangnya aku tidak peduli, anak manis.

Setibanya di kamar aku langsung mengunci pintu, takut-takut Atthar mendobrak masuk dan membalas ulahku tadi.

Kuempaskan tubuh di atas kasur, menikmati pantulan tubuhku beberapa saat. Pandanganku tertuju pada langit-langit kamarku yang polos dan membayangkan keindahan langit bertabur bintang di baliknya.

Ah, aku jadi terpikir untuk mengganti atap kamarku dengan kaca yang bisa berubah warna menjadi gelap jika siang.

Itu pun kalau ada.

Pandanganku beralih pada kain bermotif etnis itu, aku membentangkannya, menilai keunikan kain songket yang sudah kucuri ini.

Aku melompat duduk mendengar sepertinya ada suara kertas yang terselip atau tertempel di kain ini.

Ternyata, memang ada.

Kubuka lipatan kertas yang menyembulkan guratan tinta di baliknya. Membaca isi kertas itu.

Di kata pertama aku sudah menahan napas, jantungku berdetak tak beraturan hingga rasanya detak itu muncul juga di gendang telingaku, mataku perih.

Tanpa sadar aku sudah meremas kertas itu, menyobek sedikit bagian ujungnya.

Surat romantis ini? Ditujukan untuk Ayahku?

Dear, Mas Ghani

Terima kasih sudah menemani hari-hari saya di sini.

Membuat sebuah kesan menakjubkan untuk tiap hari yang kita lewati.

Semoga bahagiaku juga kamu rasakan.

Salam Sayang, Dinda.

"Yah ...." Tanpa sadar air mata meluncur membasahi pipiku, dadaku amat sesak, kepalaku berputar cepat.

Apakah ini pertanda bahwa aku akan benar-benar sendirian mulai saat ini? Bahkan dengan teganya Ayah bermain di belakang. Tidakkah ia peduli dengan perasaanku?

Sakit. Aku benar-benar sulit memercayai kemungkinan ini. Sosok tegap yang kurasa selalu hadir untuk melindungiku, tidak peduli akan perasaanku.

Hancur. Menyadari bahwa ada alasan lain Ayah mengabaikanku, ada alasan lain Ayah menyibukkan dirinya di luar rumah. Alasan yang benar-benar membuatku kecewa padanya.

Ternyata, aku benar-benar sendirian sekarang, tempatku mengadu hanya pada Tuhan.

Khusus untuk bintang yang masih berpijar, katakanlah padaku lewat segaris mimpi, bahwa ini hanyalah dugaanku semata. Bukan kenyataan yang sesungguhnya.

Semesta, jangan buat sosok itu menjauhiku, jangan buat kehangatannya menghilang untukku. Semesta, saat ini aku hanya membutuhkan dia. Tidak yang lain.

Tuhan, kumohon, jangan biarkan dia pergi, kumohon sangat Tuhan.

Tanpa bisa kucegah lagi, isakan perlahan menyusul air mataku yang sudah luruh menyapu pipi.

Aku takut kehilangan.

☁☁☁

Sumpah aku deg-degan sendiri nulis part ini. Takut masuk konfliknya😫

But, aku harus nyelesaiin cerita ini maksimal lebaran. Jadi, sampai bernyesak-nyesak ria ke depannya👋

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang