41. Usaha Melupakan

1.2K 58 10
                                    

A/n : ini bukan judul buku :v
.
.
.
.

Coba katakan padaku, melupakan dimulai dari mana?

☁☁☁

"Pergi! Saya bilang pergi!"

Gelegar pekikan Mama menulikan gendang telingaku, kuat-kuat aku memaki dengan bahasa sekotor-kotornya demi mencegah luruhnya air mata.

Entah ini sudah menit ke berapa sejak aku membanting pintu karena pertengkaran hebat mereka kembali terjadi. Seharusnya aku tidak menuruti perintah lelaki sialan bernama El yang menyuruhku untuk pulang dengan sikapnya yang menyebalkan.

Dan di sini aku bak dibunuh secara perlahan.

"Berhenti kekanak-kanakan, bisa?!" Ayah membalas sama tingginya.

"Berisik, banyak omong. Berisik!" aku menjepit kedua bibirku, menakannya menjadi satu titik, berupaya mengumpulkan gumpalan sesak menumpuk dalam dada.

Persetan dengan apapun! Aku benci suasana seperti ini!

"Kekanak-kanakan? Jangan berlaku seenaknya hingga mengatai saya kekanak-kanakan! Anda pikir siapa yang bisa bertahan di posisi seperti ini?!"

Desisan Ayah begitu terdengar frustrasi. "Bisa tolong mengerti?"

Mama tertawa parau disertai dengusannya. "Ya Tuhan!!! Saya sudah mengerti Anda lebih dari cukup. Sekarang, dengan alasan apa saya harus mengerti?"

Semakin kutenggelamkan kepalaku dalam selimut dan himpitan bantal agar pekikan-pekikan yang lebih mirip nyanyian kematian itu teredam.

"Berhenti, plis berhenti ...," desisku lirih.

"Saya lelah membahas hal ini terus menerus. Karena susah berbicara dengan orang yang sudah dibutakan nafsu, hingga memilih darah dagingnya dibanding wanita perusak saja tidak sanggup."

Bedebum pintu meredam kobaran api yang membakarku dalam neraka ini.

Sebentar saja, karena mungkin mereka akan kembali melemparkan bara api ke tubuhku dengan caranya.

Dalam hening yang membunuhku dalam rasa bersalah, aku mendengar suara hela napas penuh rasa lelah yang entah kenapa terdengar nyaring masuk ke dalam rongga telingaku.

Setelahnya benar-benar hening, aku hanya bisa mendengar detak jantung yang beradu dengan napas yang keluar secara memburu.

Aku menampar pipiku berulang kali.

Menggigiti bibir bagian dalamku kuat-kuat.

Apapun yang dapat menyamarkan rasa sakit yang menggerogoti hatiku.

Air mataku mengalir satu jalur membasahi pipi yang terasa kebas, turun menggenang di bibir, menguar rasa asin beserta perih yang tak sebanding dengan apa yang batinku rasakan.

Isakkan pelanku terurai juga, mengeluarkan segala rasa sesak yang bergumul dalam dada. Kenapa hingga saat ini aku belum bisa lebih kuat? Kenapa aku masih terus menangis? Menangisi kesalahanku sendiri.

Tanganku menjalar untuk menjambaki rambut, air mata tak henti-hentinya mengucur dari pelupuk mata. "Berhenti .... berhentiin ini semua Ya Allah! Lea gak mau lagi, Lea capek, Lea gak mau ....," racauku sambil terus menjambaki rambutku hingga benar-benar terasa kebas.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang