26. Bukan Apa-Apa

1.1K 58 12
                                    

Rasanya rasa cemburuku memang tidak pantas untuk ada. Terlebih seharusnya aku sadar, aku siapa. Tapi, apakah ada perasaan yang salah?

☁☁☁

Suara gesekan benda dengan benda lain yang bersumber dari hadapanku tak ayal langsung memecah konsentrasi. "Le," panggil si empunya keributan.

Aku mendengus pelan, dia sangat berpengaruh, hanya hal sekecil ini saja pun konsentrasiku akan terganggu. "Gue lagi ngerjain dua puluh soal ini, Ar. Plis jangan ganggu, gue belum konek banget sama log-logan begini." Aku menjawab, tanpa sedikit pun menoleh pada lelaki itu.

"Plis juga deh Le, ini gurunya juga gak ada semingguan, lo bisa kumpulin ini besok, lusa, besoknya lagi, atau minggu depan juga boleh."

Dengan malas kuangkat kepalaku seraya meletakkan pensil berkepala hello kitty itu di atas meja, menatap malas si empunya suara yang malah tersenyum lebar. "Emang ada apa?"

Arza semakin melebarkan senyumannya membuatku mendengus geli melihatnya. "Ya gak apa, gue cuma mau ngobrol aja, si Dhaval ngantin, Hana lagi kumpul-kumpul sama masa squad."

"Masa? Cuma mau ngobrol doang?" aku bertanya seraya menaikkan sebelah alisku, berlagak sok jutek dan sejenisnya. "Eh tapi, bukannya lo juga masa squad ya?"

Arza mengangguk singkat. "Iya sih, tapi ya, gue ditinggal gitu masa, jadi males aja nyusul sendirian ke sananya."

"Hubungannya sama gue apa, Ar?" tanyaku gemas sendiri.

Cengiran lebar Arza benar-benar membuatku sebal. "Temenin ke sana yuk."

Mataku langsung melebar mendengar ajakannya. Oh, ayolah, Arza sayang, aku bukan kumpulan anak hits seperti dirimu. "Tuh kan, males, ada maunya."

"Tau aja ih, Lea," cengirnya tanpa dosa.

Aku menggigit bibir dalamku dan mengalihkan tatapanku dari Arza. "Gue gak mau. Lo paling cuma nyuruh gue anterin lo abis itu gue disuruh balik lagi, atau paling parahnya gue dikacangin di sana," balasku, menahan getir di dada.

Menyatakan secara tidak langsung bahwa aku tidak pantas di sana, terlebih bersama Arza.

"Mana gue tega, Le, gituin lo." Ada rasa hangat yang menyelimuti rongga dadaku begitu Arza mengatakannya.

Kuberanikan diri untuk menatap tepat di kedua gelap matanya itu. "Ya terus?"

Helaan napas Arza terlihat gusar dan aku tidak mau begitu peduli. "Ya lo temenin gue ngobrol di sana. Gue gak enak, kan, kalau gak ikut ngumpul, padahal gue jarang banget ngumpul," katanya, aku mendengarkan saja. "Jadi, di sana gue ngobrolnya ya sama lo, gue cuma absen muka doang, plis ya ya? Temenin ...," rengeknya.

Aku menghela napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan. "Oke gu—"

"—Makasih Lea! Baik deh! Makin suka jadinya."

Begitu kalimat itu muncul, duniaku tak ayal langsung beku, hanya ada tatap mata dan senyum lebar Arza diiringi alunan detak jantungku yang berpacu dahsyat.

"Suka pengen nabok," lanjutnya sambil terkekeh.

Tanpa ia sadari, ada dunia yang runtuh begitu dengan manisnya ia terkekeh. Menyisakan degup menyiksa yang masih menghimpit perasaanku.

Harusnya aku sadar, perasaan terbalas bukanlah untukku. Sebodoh-bodohnya aku, seharusnya aku paham, bahwa perasaanku tidak mungkin terbalas, menyadari siapa aku dan siapa dia. Rasanya ... mustahil.

"Ayo! Malah diem!" ujarnya seraya menarik tanganku, bak manusia yang tengah dalam kondisi tipu daya hipnotis aku mengikuti langkahnya yang entah membawaku hingga ke titik mana.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang