35. ,Yah ...

1K 56 0
                                    

Untuk sosok tegap yang pernah mendekapku dengan kasihnya, aku rindu.

☁☁☁

Mama menghela napas panjangnya yang ke sekian, setelah beberapa menit lalu ia tiba dengan sebuah map hitam di tangannya, ia menatapku dengan pandangan sulit diartikan, mungkin lebih tepatnya, aku takut mengartikan.

Setelah mengembuskannya perlahan, ia membuka suara, "Kak, kamu ada masalah?"

Kucoba menenangkan perasaanku lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan yang Mama lontarkan tadi. "Lea rasa enggak, Ma," sangkalku.

Tuhan, maafkan hamba!

Mama bertahan pada ekspresinya, tangannya terulur untuk meletakkan map itu di atas meja. "Kalau memang kamu gak ada masalah, Mama gak tau lagi apa penyebab nilai kamu banyak yang turun gitu."

Mataku memejam untuk beberapa saat, menahan semua yang sudah berkecamuk dalam benakku. "Maaf, Ma. Mungkin proses Lea kurang maksimal."

Mama menarik napas lagi, kepalanya jatuh di sandaran sofa, "Kalau kayak gini, harapan Mama cuma SBMPTN, semoga kamu gak ngecewain lagi."

Aku mengangguk lesu, pandangan nanarku menatap map hitam itu, kelam, seperti angka-angka terakhir yang tercetak di sana.

Suara pergerakan membuatku menoleh, Mama sudah beranjak meninggalkan ruang tamu, tanpa mengucapkan apapun lagi.

Ada sesuatu di rongga dadaku yang terasa diiris perlahan, menyisakan luka yang menyesakkan. "Ma .... Lea takut," lirihku amat pelan.

☁☁☁

"Bangun, Lea," ucap suara berat yang menarikku dari alam mimpi.

Erangan pelan lolos dari bibirku, aku menyipitkan kelopak mata, menatap siapa empunya suara yang membangunkanku dari alam lain.

Ayah.

Seketika aku mendengus malas, enggan. "Mau apa?"

"Ayah mau ngomong, cepet, ke bawah," ujarnya seolah tak berharap dibantah barang dengan satu patah kata pun.

Aku melenguh singkat, menatap enggan sosok tegap di sana. "Duluan. Nanti nyusul."

Mata teduhnya menatapku beberapa saat, lalu ia memutar tubuhnya untuk melangkah.

Setelah Ayah menghilang di balik pintu, aku turun dari ranjang, meski aku sangsi apakah aku sanggup berhadapan dengan Ayah.

Seolah tidak ingin memperlambat, Ayah sudah duduk di sana, dengan map hitam—yang mulai sekarang terlihat horror di mataku— di tangannya, matanya memandang map itu dengan pandangan meneliti.

"Mau ngomong apa?"

"Duduk."

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menuruti perintahnya.

"Ada yang salah sekarang. Apa penyebabnya?"

Aku mendesah singkat. "Seberapa menurunnya nilai itu sih?!" ucapku balik bertanya, sedikit terusik.

Ayah mengalihkan tatapannya, menuju ke arahku yang—mencoba berani—menatapnya. Sungguh, aku tidak berniat kurang ajar, hanya, ada sesuatu dalam dirikku yang berusaha memberontak.

"Meski gak segnifikan, tapi ada beberapa, Lea. Itu artinya pupus harapan kamu buat dapet undangan SNMPTN."

Dadaku berdetak kuat, meski aku sudah tahu akan hal ini, tetap saja, aku merasa jatuh, sangat jatuh, harapan tertinggiku sudah tak dapat kuraih.

"Masih ada SBMPTN."

"Dan kamu tau gimana peluangnya?"

Lagi, rasa sakit itu menyerang dadaku, sesak, seolah ia meragukanku, meremehkan kemampuanku, atau bahkan tidak percaya lagi padaku? Entahlah.

"Yah, Lea selalu usaha. Hasil buruk yang Lea terima pun udah dari hasil usaha Lea. Tapi lagi, Lea gak sejenius orang di luar sana, Lea gak bisa."

"Kenapa?" pertanyaan memuakkan itu membuat tercenung. Ia bertanya pertanyaan yang terdengar retoris itu. Kenapa? Ia bertanya kenapa?

"Setiap orang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing, Yah, Lea rasa Ayah lebih ngerti. Juga, mungkin ada se..."

"—Masalah?" potong Ayah cepat, aku menegak air liurku. "Ada masalah apa kamu di sekolah? Atau ini justru ulah kamu sendiri yang kayaknya sudah menomorduakan kedekatan kamu dengan keluarga? Kamu tau itu juga termasuk ke dalam sebuah masalah?" cecar Ayah.

Aku tercekat, kenapa Ayah berbicara seolah aku yang paling salah disini. Tidak ada faktor lain. Murni kesalahanku.

Ingin aku mengatakan yang sudah mendesak untuk diutarakan. Percayalah, aku tidak akan menjauh jika ia tidak menciptakan jarak, jarak yang entah sadar atau tidak ia ciptakan dan dengan sempurna ditutup kabut kepalsuannya.

Rasanya aku tak sanggup menahan ini lebih lama lagi, kepalaku berdenyut sakit seiring dengan dadaku yang terus dihimpit godam raksasa di antaranya.

"Kalau Ayah merasa bahwa ini pure kesalahan Lea, terserah. Karena seharusnya Ayah lebih paham, ada hal-hal yang gak terlihat namun sangat berpengaruh," ucapku sambil bangkit. "Dan, ya, maaf untuk kekecewaan yang Lea kasih, Lea sangat-sangat menyesal gak bisa memenuhi tuntutan Ayah," tutupku sambil berlalu.

Seolah lelah, air itu luruh, membasahi kedua belah pipiku setetes demi setetes hingga dapat kurasakan cairan itu menimpa kaki telanjangku.

Setelah mencapai ruangan ternyamanku, aku membanting pintu cukup keras, memberikan debuman yang mengganggu lalu segera menguncinya, sebelum ada yang mengajukan protes.

Ayah seolah tidak merasa bersalah. Menutup dengan rapat kesalahannya dan melimpahkannya padaku. Dia pikir aku sebodoh itu?

Apa ia sedang bermasalah dengan perempuan perusak itu?

Atau ia sudah tidak menyayangiku?

Menyakitkan saat dirimu bukan lagi prioritas.

Bahkan, sebelumnya Ayah yang sangat antusias untuk mengambil laporan belajarku, sekarang sudah tidak lagi, ia tidak peduli, dengan santai ia mengatakan bahwa itu bukan urusannya. Padahal, jauh di belakang sana aku merasa ia paling peduli akan hal itu.

Batin mana yang tidak sesak memendam sendirian luka yang terus beranak?

Aku memejam, merasakan cairan itu terus merembes membasuh wajahku. "Yah, Lea kangen, kangen Ayah kayak dulu lagi. Lea takut kehilangan Ayah, Lea mohon jangan pergi, Yah. Jangan tinggalin Lea sendirian."

Aku rindu tubuh tegap itu mendekapku
Memberikan ketenangan untuk batinku
Untukmu, sosok yang kini melangkah menjauhiku
Untuk alasan yang sama sekali tak kumengerti.

Kembali, Yah.
Anak gadismu merindukan kehangatan darimu
Merindukan tangan kekarmu membimbingnya

Tuhan, tolong jaga Ayahku
Jaga utuh rasa yang ia miliki teruntuk keluarganya
Jangan hilangkan sosoknya, Tuhan

"Lea sayang Ayah," lirihku amat pelan, lebih mirip bisikan menyesakkan.

☁☁☁

Sayang Ayah jugaa ({}) :* :')

Aku pake panggilan 'Ayah' sama 'Mama' buat memperkuat feel aja pas nulis.

Happy reading and enjoy it!❤

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang