14. Julitan Keluarga

1.3K 69 2
                                    

Hangat itu sumber kekuatanku, Tuhan, aku harap bahagia adalah akhir dari segalanya.

☁☁☁

"Assalamualaikum!" aku mendorong gagang pintu sehingga daun pintu yang mulanya sudah tertutup rapat terbuka sedikit.

Hening. Keadaan di Sabtu malam yang seharusnya diisi oleh Ayah, Mama ataupun Atthar yang tengah mengobrol ringan di ruang keluarga ditambah dengan menimbun lemak dengan berbagai jenis makanan.

"Everybody home?!" teriakku saat tak mendapati mereka di ruang keluarga.

Hening yang menjawab pekikan menggelegarku.

Aku mendecak sebal, kenapa rumah mendadak sunyi sepi seperti ini? Bukankah seharusnya sekarang tawa heboh milik Atthar sedang memenuhi ruang keluarga?

Aku melempar tas plastik berisi satu kotak martabak manis itu ke atas sofa sebelum tubuhku mendarat manis di sampingnya.

Mataku terpejam sembari menikmati keheningan dengan punggung bersandar lelah pada punggung sofa. "Baru pulang, Le?" mataku terbuka saat suara seseorang terdengar di telingaku.

Mama berjalan mendekat lalu duduk tepat di samping kiriku. "Iya, Ma, langsung diselesaiin soalnya."

Tatap Mama masih tertuju padaku lalu beralih pada remote tv yang tergeletak di antara kami. "Gimana konser dadakannya?"

"Susah, Ma. Mana Lea duet lagi sama Arza."

Mama terkekeh pelan aku yakin seribu persen bahwa tawa itu merupakan ledekan terselubung. "Kok mereka milih kamu sih, Le? Gak pada terganggu apa pendengarannya?" kan? Apa kataku!? Sambil terus tersenyum jemarinya asyik menekan-nekan tombol remote.

"Suara Lea kan bagus, Ma. Enak lagi, adem gitu didengernya," aku membela sambil mencebikkan bibirku.

Ya, meskipun ucapan Mama ada benarnya.

Mama terkekeh singkat lalu meletakkan remotenya di paha setelah menemukan saluran yang tepat dengan suasanya hatinya. "Iya, terserah."

Senyum puasku mengembang mendengar pengakuan terpaksa yang Mama katakan. "Ayah sama Atthar mana? Tumben sepi."

"Masih di kamar, abis sholat berjamaah tadi, tapi ngaji dulu, Mama lagi halangan jadi bikin dadar gulung deh," jelas Mama, aku mengangguk mendengarnya.

"Mana dadar gulungnya? Lea mau!"

Mama mengedikkan dagunya, "Di atas meja makan, bawa sini aja."

Aku beringsut lalu berjalan menuju ruang makan untuk mengambil dadar gulung dan minuman.

Tanganku mengambil satu potong dadar gulung yang terasa masih hangat itu dan membawanya ke mulut. Sedang tangan satunya terulur untuk mengisi gelas dengan air di dispenser.

Setelah menyisakan setengah gelas, kuletakkan piring dan gelas ke atas nampan dan membawanya ke ruang keluarga.

Terlihat Ayah dan Atthar sudah duduk manis di sana dengan kedua mata yang fokus pada layar di depannya.

Aku meletakkan nampan berisi dadar gulung dan air putih di atas meja membuat ketiganya kompak melirik ke arahku. "Udah pulang, Le?"

"Iya," kataku seraya duduk di single chair di samping Atthar. Aku melirik kotak martabak yang sudah berpindah dari sofa ke atas meja.

"Kak, tumben balik-balik bawa makanan?" Atthar yang menggantikan posisi si plastik martabak itu langsung membukanya dengan bersemangat.

Aku meraih segelas air dan kembali menenggaknya, entah kenapa rasanya agak sulit mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. "Dibeliin Arza."

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang