1. Harapan yang Musnah

4.7K 139 13
                                    

Aku paham, tak pantas menuntut banyak dalam sebuah harapan yang tak pasti.

☁☁☁

Aku menggeliat malas saat mendapati cahaya menerpa wajahku dan hal itu yang menyebabkan tidurku terganggu.

Mataku mengerjap berulang kali menyesuaikan dengan cahaya yang seenaknya masuk tanpa permisi itu.

Rasanya sinar itu agak sedikit ... terik? Ya tapi, memangnya kenapa? Bukannya itu hal yang wajar ketika hari mulai siang?

Tunggu, tunggu. Apa tadi ... siang?

Aku refleks melompat dari kasur saat menyadari kegilaanku, tanpa peduli dengan keadaan si bantal dkk.

Kuraih sebuah jam beker berbentuk kepala kucing yang mitosnya manusia tak bermulut itu. Tak bermulut? Mengerikan, bukan?

Lupakan pasal asal muasal tokoh kartun itu. Jarum jam tepat menunjukkan pukul 06.20 dan sudah dapat kupastikan aku terlambat bangun.

Dan ya, ini lebih mengerikan.

"AYAH!! MAMA!! LEA KESIANGAN!!!!" pekikku mengumumkan.

Kutarik handuk yang tersampir di samping nakas lalu berlari menuju kamar mandi. "MAMA! KENAPA LEA GAK DIBANGUNIN!??" aku terus mengajukan protes dengan suara yang menggelegar, mengajukan protes atas kesalahan yang kuperbuat. Aku tak peduli.

Kudengar sayup-sayup Mama mendumel atas kelakuanku, sepertinya pada Ayah. Aku memilih menahan dulu segala omelanku dan segera mungkin membersihkan badanku. Catat, bukan mandi, karena tak ada mandi yang dilakukan hanya dengan waktu tiga menit saja.

Ya, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga menit untuk melakukan ritual mandi itu sebelum akhirnya bersiap berangkat ke sekolah.

Setelah memasukkan ponselku secara asal ke dalam tas aku berlari menuju ruang tamu dengan penampilan yang tak pantas disebut sebagai hari pertama sekolah.

"Ma Lea berangkat. Assalamu—"

"Azalea!!! Kamu bisa gak sih gak pake teriak pagi-pagi gini?!"

Aku meringis mendapati pekikan menggelegar Mama yang memotong ucapanku. Kuberikan senyuman super lebar tanda perdamaian pada Mama yang menatapku tajam.

"Lea takut telat, Ma," belaku.

Mama mendecak kuat. "Ya itu salah kamu, kenapa juga jam tujuh baru bangun?"

Aku memberengut mendengarnya. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya bahwa aku bangun pukul 06.20?

"Jam setengah tujuh, Ma."

Ck, menyebalkan memang, mengapa orang tua senang sekali mengorupsi waktu? Pukul lima lewat lima belas akan ia katakan pukul enam. Empat puluh lima menit?! Bukankah itu waktu yang berharga? Rasanya mereka senang sekali membodohi anaknya dengan hal segila itu. Terlebih ia katakan pada anak yang sudah mengenal waktu. Aneh menang.

"Bantah aja terus."

"Ya kan Ma, setengah jam juga lumayan."

Mama melirikku sebal. Mungkin tak habis pikir menghabiskan tenaganya untuk berdebat dengan anak sepertiku.

"Sekarang kamu nunggu apa, hah? Mau buang waktu berapa lama lagi? Kamu tuh baru aja naik ke kelas sebelas Azalea! Harus lebih rajin, jangan males-malesan kayak gini. Gimana mau dapet undangan masuk PTN?" oceh Mama. Yak, ini adalah ceramah pembukaan yang menjadi sarapan untukku.

"Mau nunggu apa lagi, Le? Udah jam tujuh kurang lima nih!"

Mampus. Kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajat untuk menengok jam yang menempel di dinding sana.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang