40. Usaha Mengikhlaskan

1.2K 63 2
                                    

And baby your smile's forever in my mind and memory.

-Thinking Out Loud - Ed Shereen-

☁☁☁

Kepalaku penat. Tentu saja. Seharian ini waktuku banyak tersedot untuk menangis. Ah, bahkan jika hanya dengan mengingatnya godam yang menghimpit kepalaku seolah bertambah sendiri massa-nya.

Aku mengeratkan peganganku pada cangkir berisi cokelat panas ini, membawanya mendekati wajah untuk menghirup suhu hangat yang menguap dari dalam sana.

Kakiku melangkah mundur untuk memosisikan tubuhku pada kursi kayu beraksen tua yang berada dua langkah di belakangku. "El? Lo gak mau tidur?" aku bertanya pada lelaki di sampingku seraya meletakkan cangkir di meja berbentuk lingkaran yang menjadi penghalang kami.

Lelaki itu mengedik dan aku tidak mau ambil pusing. Pandanganku kembali lagi pada jajaran rumah dengan cahaya yang berpendar di tiap titik.

Kursi yang kududuki ini berada di balkon yang terletak di hadapan ruang keluarga rumah Nenek, ruangan ini agak menjorok ke halaman samping dengan lima buah anak tangga yang menyebabkan letaknya lebih tinggi.

"Le?"

Aku langsung menoleh. "Ya?"

Sayangnya El tak langsung meneruskan ucapannya, lelaki itu terdiam cukup lama dan hal itu menimbulkan niat untuk mengguncang tubuhnya agar tersadar mucul dalam benakku. "Ah, bukan apa-apa."

Seharusnya aku tidak berpikir ia akan mengatakan hal serius kalau aku tahu balasan setelah aku menunggu ia terdiam adalah 'bukan apa-apa'.

Hening lagi.

"Lo besok sekolah?" pertanyaan darinya muncul setelah senyap merajai.

"Mungkin," jawabku mengambang. "Oh ya, El. Tadi yang nelepon lo waktu di halte itu siapa? Keluarga lo?"

Mendengar pertanyaanku punggung lelaki itu menegap, seperti terkejut atau sejenisnya, aku tidak dapat memastikan.

Cukup lama ia terdiam tanpa menjawab pertanyaanku hingga aku sedikit merasa tidak enak, meski sesungguhnya tak kupahami kenapa ia begitu.

"Bukan urusan lo."

Aku mendecak kuat. "Ya, gue gak enak aja gitu jadi penyebab lo gak balik gini. Nanti mereka nyangka lo ngelakuin yang enggak-enggak lagi."

"... biasa."

"Eh? Lo ngomong apa barusan? biasa ... what?"

El menoleh lalu menggeleng. "Bukan. Maksudnya, gue udah bisa ngejelasain ke mereka, bukan biasa."

Aku menggumamkan 'oh' panjang setelahnya.

Lelaki itu mengangguk sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan.

Seperti yang ia lakukan, aku juga kembali menatap kerlip cahaya lampu yang justru membawaku pada ilusi bahwa itu adalah kerlip milik bintang. Seketika, wajah terang Arza kala malam di ulang tahun-ku menghampiri.

Rasa rindu bisa hadir kapan saja dan itu cukup menyebalkan.

Aku rindu Arza.

Bahkan, aku dengan bodohnya masih berharap-lebih tepatnya berkhayal-bahwa lelaki yang peduli padaku saat ini bukan El, melainkan ... Arza.

Ekor mataku melirik El yang sedang menatap hamparan atap rumah dengan pandangan sulit diartikan. "El? Umm ... lo kenal Arza?"

"Apa harus gue jawab?"

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang