47. Jangan Pergi

1.6K 66 9
                                    

Sudah lama rasa ini terpendam, namun hingga kini aku tak menuntut banyak permohonan. Cukup di sini.

☁☁☁

Deru mesin Ac yang menggerung menjadi teman bagi kegelisahan hatiku. Bermenit-menit aku hanya menatap gerbang berlumur cat hitam elegan yang menjulang tinggi itu tanpa melakukan apa pun.

Sekali lagi aku membuang napas kasar. Mendesak agar secepat mungkin bertindak atau semua akan sia-sia. Namun, aku masih dikekang rasa takut yang tak berkesudahan.

"Lo mau sampe jadi mumi bengong begini?"

Tubuhku terlonjak akibat rasa terkejut dari suara yang muncul tiba-tiba itu.

Setelah dirasa cukup tenang, kutolehkan kepalaku ke arahnya. "Gue takut." Aku mencicit.

El menghentak kepalanya hingga membentur sandaran mobil. "Lo udah sampe sini, Lea." Lelaki itu menggeram, menahan emosi.

Kembali kepala kualihkan ke gerbang kokoh tersebut seraya mengapit kedua bibirku membentuk satu garis tipis. "Gimana kalau Arza ngusir gue?"

"Gak mungkin." El membalas tegas.

Suara tawa parauku menggema singkat. "Kenapa gak mungkin? Dia aja bisa ngusir gue dari hidupnya, kalau cuma ngusir gue dari sini bukannya hal mudah?"

Mendengus keras, El menarik pundakku agar menghadap ke arahnya. "Lea. Lo udah sampe sini. Arza gak mungkin ngusir lo, karena dia say—"

"Stop, El. Gak perlu lo lanjut."

Dengan kasar El menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang. "Terus mau lo apa?"

"Gue cuma takut, El."

El kembali mendengus kasar. "Dengerin gue baik-baik sebelum kesabaran gue habis," katanya mengingatkan. "Jangan gila dengan menangin rasa takut gak jelas lo dibanding nemuin Arza buat yang terakhir kali."

Buat yang terakhir kali.

Terakhir kali.

"Arza gak akan pergi." Aku menggeleng kuat, menyangkal kalimat El yang sebetulnya menghantuiku.

"Gak semudah itu, Lea. Ini udah keputusannya."

☁☁☁

Pandanganku tak luput menatap pelitur yang terukir di pintu berlapis cat cokelat tua ini. Hatiku diremas rasa takut yang tak teruraikan. Aku bukan hanya takut.

Aku seperti tidak sanggup.

Baru saja tanganku akan menempel pada kayu jati tersebut, namun tiba-tiba pintu lebih dulu dikuak dari dalam.

Memunculkan raut seseorang yang menampakkan garis terkejut di wajah manisnya. Legamnya menyorotku tak putus dengan pandangan yang tak mampu untuk didefiniskan.

Rindu itu memuncak dalam dadaku, mengalirkan sebuah gelagak perih yang meletup di balik rongga dada.

Menatap sosoknya sedekat ini membuatku semakin tak berdaya.

Aku sangat merindukannya.

"Lea ...," panggilnya lemah. Suara itu kembali menyebut namaku setelah sekian lama terbungkam. Suara tenang yang menyejukkan untuk didengar.

Rasa tak mampuku semakin mengakar, hingga aku berujar dengan sedikit sendat akibat sesak, "Jangan pergi ... Ar."

Arza mengusap wajahnya secara kasar. Kemudian matanya mengedar tak tentu arah hingga di suatu titik ia terhenti lalu mendesah singkat.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang