27. Kebodohan

1.1K 59 3
                                    

Bisakah aku menjadi gadis yang kamu pertahankan dengan perjuangan?

☁☁☁

Awan gelap terus menghiasi langit meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, langit mendung seolah enggan pergi meskipun kupikir musim hujan sudah seharusnya berlalu.

Ditemani guru Sejarah Indonesia yang tengah menerangkan materi, pagi ini terasa lebih menenangkan.

Sesekali bunyi gemuruh hadir di tengah-tengah penjelasan guru bertubuh tambun itu, menyebabkan ia berhenti sejenak memberikan penjelasannya.

Entah apa yang menarik saat guntur itu menggelegar, aku selalu melirik ke arah jendela yang kebetulan tepat di sampingku, sesekali melihat angin itu menyeok masuk dari jendela yang terbuka dan mengibas perlahan rambutku.

"Kerajaan Hindu Buddha ini merupakan salah satu faktor berpengaruhnya corak kebudayaan yang ada di Indonesia, hingga sebanyak ini," ujar guru bernama Bu Salma itu seraya mengalihkan tatapannya dari buku yang beberapa menit lalu ia selami. "Coba terangkan apa yang saya ucapkan tadi, Dhaval Bagas Satria!"

Tubuhku menegak mendengar nama Dhaval dipekikan dengan begitu lantangnya. Dapat kupastikan lelaki satu itu tidak memerhatikan penjelasan Bu Salma barusan. Pantas saja guru menyeramkan itu murka.

"A-anu, Bu. Saya kebelet," ujar Dhaval terbata seraya bangkit dari kursinya.

"Jangan beralasan!" sentak Bu Salma lebih keras membuat tubuh Dhaval berjengit.

Tangan kanan Dhaval terulur ke belakang kepalanya, mengusap belakang rambutnya gusar. "Serius, Bu. Dhaval kebelet pipis, masa iya Dhaval ngompol di sini, kan gak elite."

"Ya sudah."

"Eh?" sahut Dhaval refleks, aku menarik napas, kuyakin satu jam pelajaran akan berlanjut dengan ocehan panjang Bu Salma.

Bu Salma menarik kacamatanya yang turun, menatap Dhaval sengit. "Berdiri di depan hingga pelajaran selesai!" titahnya tak terbantahkan.

Kudengar embusan napas kasar terlontar dari hidungnya. "Yaahh, Bu. Janji deh saya gak main games pas Ibu lagi nga—eh, ups!"

Ingin sekali rasanya aku tertawa keras mendengar pengakuan bodoh yang keluar dari mulutnya setelah jelas-jelas ia tadi berdalih.

Senyuman mengerikan terukir di bibir Bu Salma. "Nah, ngaku juga kamu."

"Itu mah typo Ibu," kilahnya.

Bu Salma nampak tak acuh, pandangannya fokus kembali pada buku tebal itu. "Berdiri di depan atau nama kamu saya coret dari buku absen."

Yaps, keputusan final, tidak ada lagi kompromi. Mau tak mau lelaki berkulit putih itu harus menuruti ucapan Bu Salma atau hidupnya di pelajaran ini akan hancur berantakan.

Dengan gontai Dhaval melangkah ke depan kelas dan memijakkan kakinya beberapa meter di samping Bu Salma. "Berdiri yang tegak, Dhaval!"

Lelaki itu hanya menuruti tanpa membantah lagi.

Setelah puas menghukum Dhaval, guru bergelar Dra itu kembali memusatkan perhatiannya pada seisi kelas.

"Sudah berapa kali saya tekankan. Saya paling tidak suka melihat murid yang asyik dengan dunianya sendiri di saat saya tengah menerangkan pelajaran." Wanita paruh baya itu melirik Dhaval. "Buat apa saya berceloteh ria di depan kelas jika kalian sibuk masing-masing? Setidaknya meskipun tidak mengerti kalian menghargai dengan memerhatikan penjelasan yang saya berikan."

Benar bukan apa kataku? Ini adalah akhir jam pelajaran, Bu Salma akan berceramah di sana hingga bel pergantian pelajaran berbunyi.

"Arzada Altan dengan Azalea Adna, bisa tolong ke depan?"

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang