31. Bertahan

1.1K 59 5
                                    

Jika posisi bertahanku ini berpengaruh, aku rela bertahan hingga kamu benar-benar mengerti, bahwa aku di sini, bersama rasa sakitku.

☁☁☁

Mataku terasa berat meski hanya untuk terbuka beberapa saat, jerit alarm yang sangat memekik bahkan sama sekali tak kuindahkan.

"Lea." Suara lembut menusuk jantungku. Hatiku teriris mendengar suara itu memanggil namaku.

Tuhan, jangan biarkan bidadariku menangis untuk hal yang sama sekali tak pantas ia dapatkan.

Aku bergerak sedikit, pertanda bahwa aku sudah bangun. "Bentar, Ma," balasku dengan suara parau yang kentara.

"Nanti kesiangan, lho. Ayo," katanya sambil menepuk pahaku beberapa kali, aku mendeham.

Setelah mendengar derap langkah Mama menjauh, aku baru membuka selimut yang menutupi seluruh permukaan tubuhku.

Entah menghabiskan waktu berapa jam semalam aku menangis, hinggga aku merasa bahwa kepalaku akan meledak sekarang juga.

Semalam suntuk rasanya aku tidak bisa benar-benar tertidur, bahkan sedikit suara membuatku terjaga dan air mataku kembali terurai.

Dengan gerakan perlahan aku bangkit, menuju kamar mandi untuk bersiap menuju sekolah.

☁☁☁

Langkah malas-malasan tetap saja membawaku pada meja makan, jam sudah menunjukkan pukul 06.15, aku tidak peduli jika harus terlambat hari ini.

Aku menggigit beberapa kali roti berselai coklat kesukaanku yang entah kenapa terasa hambar.

"Le, ayo. Ayah tunggu di depan ya."

Aku mendongak, senyum miringku tercetak tipis. "Gak usah, Yah. Lea naik bus aja."

Ayah menatap heran ke arahku. "Kenapa?"

Aku menggeleng samar. "Gak papa. Berangkat aja sana, daripada kesiangan," kataku yang mungkin terkesan sinis. Demi apa pun, aku tak sanggup bila harus menatap Ayah lama-lama. Batinku terluka.

"Oh gitu." Ayah mengangguk, langkahnya berjalan ke arahku, sekilas ia mengecup puncak kepalaku. "Ayah berangkat ya, sayang. Assalamualaikum."

Mama ... hatiku terasa sangat perih menerima kepalsuan yang ditutupi dengan rapinya.

Perlahan kujawab salamnya dalam hati dengan lirih.

Aku berharap bisa menangis sekeras-kerasnya sekarang juga, menumpahkan kesesakkan yang mengendap di dadaku.

Ayah ...

Kenapa harus seperti ini?

Perlahan kutelan roti yang sedari tadi bermuara di mulutku. Tanpa menghabiskan sehelai roti pun aku bangkit meninggalkan ruang makan tanpa berpamitan pada Mama.

Saat ini aku belum mampu menyikapi semuanya dengan biasa saja.

"Belum berangkat, Kak?" sebuah suara yang sudah sangat kukenali itu menghentikan langkahku. Aku menoleh, mendapati Atthar yang sedang mengikat tali sepatunya.

Aku meliriknya sekilas, tak berminat sama sekali untuk membalas pertanyaan retorisnya.

"Mau bareng gue gak?" tawarnya sok manis, oke, aku lagi-lagi aku terlalu sinis menanggapi sesuatu.

"Gak perlu. Gue bisa naik bus."

Kulihat kerutan di dahinya muncul begitu mendengar balasanku. "Tumben," decaknya, "Udah deh, ayo, daripada telat," ucapnya sambil menarik tanganku.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang