17. Kisah Klasik di Sekolah

1.3K 77 5
                                    

Dinding waktu telah mengukir hal baru, bahwa aku pernah sedekat ini denganmu, sebelum semua terhapus juga oleh sang waktu.

☁☁☁

"Eh, Dhav, kasih tau gue napa yang masalah tadi." Arza terkesan mendesak Dhaval agar membocorkan sedikit pasal suap-menyuap antara guru dan murid mengenai nilai.

Hana mendengus meskipun matanya menekuri ponsel. "Lo mah bego, Ar, mana bener cowok kek dia ngebenerin nilai, malahan yang ada ya, dia dapet nilai sikap C."

Dhaval melirik Hana sebal, ia terkesan ingin mencabik wajah manis Hana yang tidak peduli dengan penderitaannya.

"Sedih, Ar, tadi gue udah baek-baek gitu ya, dengan senang hati menawarkan jasa gue kepada Bapak Bambang Santoso dengan kumis membahananya itu buat bawain buku-buku dia, yang sebenernya, gue tau, gue alergi megang begituan, tapi demi nilai, apapun gue lakuin," ujar Dhaval dramatis.

"Drama banget lo, kayak emak-emak abis nonton ftv indosiar," seloroh Arza.

Dhaval tak menanggapi serius perkataan Arza dan bahkan ia kembali mencurahkan unek-uneknya. "Eh, malah dengan belagunya Yang Mulia menolak etikat baik gue." Dhaval mendecak. "Dengan santai dia bilang 'ah saya masih sanggup membawa buku ini, kamu tidak perlu berpura-pura baik seperti itu, semua sama sekali tidak berpengaruh dengan nilaimu yang memprihatinkan'."

Tawaku menyembur lagi, wajah lesu yang Dhaval perlihatkan sama sekali tidak membuatku iba, bahkan hal itu sangat mendukungku untuk terus tertawa.

Bagaimana ia begitu khidmat mengikuti mimik dan cara berbicara guru kimia tercinta kita-Pak Bambang.

"Anjir, Pak Bambang kenapa jujur gitu dah, Dhav?" balas Arza membuat tawaku kian meledak.

"Sialan lo kain pel, bukannya simpatik temennya abis diceramahin." Dhaval bersungut sebal membalas ledekan Arza.

"Coba ya Pak Bambang nambahin 'wajah sama nilai kamu selaras, Dhav, memprihatinkan'." Gila! Demi apapun! Aku masih tidak bisa meredam tawaku, rasanya perutku sakit dan pipiku pegal karena terus-terus tertawa.

"Ah sayangnya, dia gak bilang gitu, ya, Dhav," kata Hana menambahkan. "Dia terlalu baik ke lo, untung aja lo gak langsung dia sambut pake kumisnya."

"Ngakak parah, anjir, demi apapun kalian ngakakin banget!" aku terus tertawa tak peduli bagaimana tanggapan orang yang berlalu-lalang, ini terlalu sayang jika hanya dibalas dengan senyum mengejek.

Kejam memang.

"Si Lea kenapa?" ucapan Icha menyapa indra pendengaranku, aku meliriknya sekilas, dan entah apa yang aneh dari Icha, tapi tawaku semakin menggelegar. "Astaga! Kalian apain Lea? Dia kalau udah ketawa susah berhenti tau," protes Icha membuat aku semakin sulit memberhentikan tawa.

"Udah ih, capek, jangan pada ngomong dulu coba, gue gak bisa berhenti entar," kataku pelan ditengah-tengah tawaku.

Semua terdiam. Membuatku menatap mereka lamat-lamat, wajah mereka begitu patuh, terlihat seperti anjing yang baru saja dimarahi majikannya. Aku kembali tergelak.

"Muka kalian kenapa begitu dah? Masya Allah!!"

Arza kudengar mengembuskan napasnya pelan. "Lo kenapa Le, ya ampun!"

Aku menggeleng kuat meski tawaku masih terus terurai, memang seperti orang gila, tapi, aku rasa semua sangat-sangat lucu.

"Receh banget." Suara menusuk khas seseorang memembuat tawaku sontak berhenti, aku menatap risih ke arah lelaki yang baru saja duduk sambil meletakkan piring berisi beberapa helai roti bakar.

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang