32. Harus Apa?

1K 53 0
                                    

Berhentilah membuatku percaya bahwa rasaku terbalas, jika kamu hanya menjadikan semua itu permainan. Aku sudah cukup sakit.

☁☁☁

Aku memejamkan mataku rapat-rapat beberapa saat, meredam segala kepeningan yang sedang berkunjung ke kepalaku saat ini.

Kelopak mataku terbuka yang langsung disambut oleh pemandangan wajah mirisku. Segaris senyum getir terbentuk di bibirku.

Aku ingin istirahat sebentar dari semua ini. Izinkan aku bernapas dengan lega sebelum menghadapi semuanya.

Ponselku bergetar dengan layar yang menyala terang. Kuhela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu.

"Hmm."

"...."

"Udah siap. Tinggal otw."

"...."

"Sabar bentar napa!"

"...."

"Gak usah bawa-bawa dia ya, please."

"...."

Tutt ....

Suara mendengung pun mengakhiri pembicaraan kilat itu. Aku bangkit dari posisiku dan beranjak meninggalkan kamar.

☁☁☁

Dentuman musik memekakan seolah berhasil menembus gendang telingaku, padahal kakiku baru saja menginjak lantai paling atas rumah mewah ini.

Semakin lama musik seolah menghimpit kepalaku, memberikan rasa pening berlebihan yang tiba-tiba menyerang.

Tanganku bergerak menyentuh dinding, menjaga keseimbangan yang hampir saja lenyap jika tidak ada penyangga di sekitar saat ini.

Suara musik terdengar semakin acak-acakan di saat aku merasa ada gangguan dalam ususku, seperti ada yang mengaduk-aduk isi yang ada di dalam sana.

Kuatur helaan napasku perlahan, memperbaiki keadaanku sekaligus meredam rasa sakit yang menyergapku secara bersamaan.

Perlu beberapa menit untuk menekan rasa sakit di perut dan juga denyutan yang berdentum di kepala. Demi apa pun, aku sebenarnya enggan berada dalam pesta yang sudah terkontaminasi virus western ini jika tidak benar-benar terpaksa.

Merasa lebih baik, aku kembali melangkah, membelah kerumunan manusia yang terlihat tidak peduli dengan sekitar.

Kerlap-kerlip lampu sedikit menyulitkan langkahku, terlebih hiruk-pikuk keramaian pesta membuat aku muak dan ingin sesegera mungkin meninggalkan tempat ini.

"Eh! Aww!" aku meringis saat dengan sadisnya sepatu dengan hak tinggi menginjak flat shoes tipisku.

Tanpa mengindahkan ringisanku gadis berkulit putih dengan mini dress berwarna merah menyala itu berlalu sambil cekikian bersama kawan-kawannya.

Aku menarik napas dalam untuk meredakan ledakan emosi.

"Lea!!" teriakan seseorang yang hampir melebihi suara musik itu menelusup masuk.

Kepalaku menengok ke segala arah, mencari asal dari suara menggelegar tadi.

"Akhirnya sampe juga," hela orang yang mengenakan dress berwarna maroon dengan renda elegan di bagian bahunya. "Gue pikir lo gak dateng."

"Enggak mungkin lah, gue gak enak," balasku sambil tersenyum simpul. "Gimana Abang lo? Udah selesai?"

"Setengah tahun lagi," katanya. "Masih ada revisi soalnya."

Hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang