Packing

440 31 0
                                    

Calvin terlihat senang saat memakai sneakers barunya. Berkali-kali Ia melompat dan memutar-mutar tubuhnya. Seperti anak kecil. Hampir saja Ia menjatuhkan gelas berisi susu di tanganku, tapi untung saja aku segera menghindar. Itu memang sneakers yang diimpikan Calvin beberapa bulan lalu, dan sekarang Ia berhasil membelinya.

"Kapan kita akan pergi ke hutan itu? Aku tidak sabar untuk memakai sneakers ini kesana!"

Aku meletakkan laptop di atas meja, "Lusa, mungkin. Kakak sudah hampir selesai mengerjakan tugas kuliahnya."

Calvin tersenyum lebar. Ia beralih duduk di sebelahku dan melepas sneakers itu dari kakinya. Aku kembali terfokus pada layar laptop untuk menyelesaikan beberapa makalah yang harus direvisi kembali.

"Kak, aku masih penasaran dengan sosok berjubah hitam tadi pagi."

Tentu saja aku terkejut saat Calvin tiba-tiba membahas soal ini. Aku menyimpan data dan segera mematikan laptop agar bisa leluasa mendengar kalimat yang keluar dari mulut Calvin. Setelah menaruh laptop di meja, aku duduk menghadap Calvin sepenuhnya. Wajahnya terlihat serius, kedua tangannya Ia lipat di atas perut.

"Datang dari mana? Dan tiba-tiba hilang begitu saja?" tanyanya.

Aku mengedikkan bahu, "Entalah. Aku sudah melihat sosok itu sebelumnya."

"Dimana?!" Calvin memegang kedua tanganku dengan mata membulat.

"Di tempat yang sama. Saat aku mengambil piring dan sendok untuk makan seafood darimu."

Calvin melepas pegangan tangannya. Ia terlihat sedang berpikir. Apa lagi yang Ia pikirkan? Aku saja tidak mau repot-repot memikirkan hal itu. Aku menganggap itu hanya ... setan, mungkin?

"Lupakan soal itu, Cal. Lebih baik kau kembali ke kamar dan aku akan menyelesaikan tugas ini lagi," aku beralih mengambil laptop seraya berdiri.

"Tapi aku tidak habis pikir. Itu bukan manusia, aku mengira itu seorang..." Calvin menggantungkan kalimatnya.

"Calvin, Kakak tidak suka kau mengganggu pekerjaaanku. Maaf, lebih baik kau bermain ponsel atau menonton televisi disini. Kakak akan kembali ke kamar."

Calvin mendesah berat lalu membiarkan aku pergi ke kamar. Satu jam berlalu. Aku membereskan kertas-kertas laporan dan segera turun ke bawah. Pukul sembilan malam, Calvin biasanya masih betah untuk menonton telivisi. Apalagi jika ada club sepak bola kesayangannya, sudah pasti paginya susah untuk dibangunkan.

"Istirahatlah, Cal. Aku tidak mau kau sakit," ucapku menatap Calvin.

Calvin menoleh lalu tersenyum, "Duduklah, Kak. Aku ingin menonton televisi bersamamu, sudah lama kita tidak seperti ini."

Aku menurut. Calvin menyandarkan kepalanya pada bahuku sambil mengganti channel televisi berkali-kali. Aku mengerti maksud Calvin. Ia pasti sedang merindukan Ayah dan Ibu, tapi tidak mau mengungkapkan hal itu kepadaku.

"Cal," panggilku sambil mengelus puncak kepalanya.

"Ya?"

"Aku tau kau merindukan Ayah dan Ibu," Calvin mendongak menatapku dengan tatapan sendu, "Aku juga sama sepertimu."

Calvin memelukku. Sudah pasti tebakanku benar. Aku menggigit bibir bawah menahan tangis sambil sesekali mengecup puncak kepala Calvin. Bahunya bergetar, tangannya memeluk erat punggungku. Aku membalasnya dengan usapan lembut di punggungnya. Membiarkan Calvin menangis di bahuku, pasti membuatnya sedikit tenang.

"Kau laki-laki. Boleh saja menangis, tapi kau tidak boleh terlalu lemah," ujarku sambil menyandarkan kepala di bahunya.

"Aku merindukan mereka."

•••

Setelah kemarin mengerjakan makalah yang menumpuk, akhirnya sekarang aku bisa merebahkan diri di kasur empuk ini. Besok pagi, aku akan dijemput Anna untuk pergi ke hutan tersebut. Berkali-kali Ia membujuk orang tuanya, tapi tetap gagal. Aku menghiburnya dengan membelikan es krim strawberry kesukaannya, dan itu berhasil. Anna melupakan hal itu dan bersemangat membahas liburan kuliah ini.

Beberapa hari yang lalu, aku juga melaksanakan ujian. Jadi, kami diberi libur kuliah selama dua minggu. Cukup bagiku, karena aku akan menghabiskannya untuk berpetualang di dalam hutan itu. Baru saja aku memejamkan mata, terdengar suara gaduh dari kamar sebelah.

Aku mendengus kesal. Dengan gerakan cepat aku bergerak membuka pintu dan langsung berjalan beberapa meter ke kamar Calvin. Pintunya terbuka, terlihat kamar Calvin sangat berantakan.

"Astaga! Kenapa kamarmu seperti kapal pecah?!" aku menghampirinya dengan langkah lebar.

"Jangan marah dulu. Tolong bantu aku ambil tas hijau kesukaanku di atas sana," Ia menunjuk ke atas lemari.

Disana terdapat beberapa koleksi tas gunung dengan berbagai warna dan merk. Mengingat kami suka berpetualang, tak heran jika kami berdua banyak menyimpan barang-barang seperti itu.

"Kau bisa mengambil kursi, lalu menjangkau tas itu dengan mudah," kataku sambil membereskan beberapa pakaian yang terjatuh di lantai.

"Oh iya!"

Aku menggelengkan kepala. Calvin terlihat bersemangat, sampai-sampai otaknya tidak digunakan untuk berpikir. Kata Calvin tadi, Ia sudah izin dengan pemilik restoran dan temannya untuk mengambil cuti selama dua minggu. Beruntung mereka mengizinkan.

Setelah merapikan pakaian itu, aku beralih menatap Calvin yang sudah berhasil mengambil tas hijaunya. Ia memasukkan beberapa pakaian dan keperluan ke dalam tas besar tersebut. Tidak lupa juga untuk memasukkan selimut tipis sebagai pelindung kami saat tidur disana nanti.

"Apa kau sudah bersiap-siap?" tanya Calvin.

Aku mengangguk, "Sudah. Sekarang, kau harus tidur, jam enam pagi Brianna akan menjemput kami."

Aventura Con Angel (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang