1 7

553 44 2
                                    

Gadis Pov.

"Dis, Dimana nih ? Gak ke toko buku?"

"Baru banget sampai rumah, Tis, kenapa?" Tanyaku kepada ponsel yang menghubungkan aku dengan Tisa. Sore ini aku pulang cepat, tidak mampir menonton matahari tenggelam seperti biasanya karena sakit perut

Bisa jadi aku adalah salah satu dari sekian ribu juta manusia yang tidak bisa menerima Pispot lain di dunia ini selain Pispot rumah mereka sendiri. Kaum seperti ini biasanya amat menyusahkan ketika merasa musti melakukan ritual saat sedang pergi. oke, memang beberapa kali kebelet adalah pengecualian. Mari kita anggap saja ini khilaf.

Toilet sweet toilet.

"Kok suaranya gema gitu? Wait, kamu di kamar mandi nih? Njir bau!"

"Maaf  Tis, panggilan alam nih. Sebentar lanjut lagi yah, menunaikan ibadah dulu," sahutku kepada Tisa. Dia langsung menutup teleponnya.

                              *****

"Ran, aku mau nanya nih," ucap Raka.

"Iya, boleh, nanya apaan emang?" Tanya Rani.

"Doi mau nanya, udah punya pacar belum Ran? Terus kalau Raka nembak bakal di terima gak?" Deri langsung menyahut di tengah-tengah pembicaraan Raka dan Rani.

"Apaan sih Lo cumi," sahut Raka, meninju pelan lengan Deri.

Rani menggelengkan kepalanya, melihat kelakuan Deri dan Raka.

"Yah udah, daripada gue jadi obat nyamuk kalian, mending gue masuk ke kelas duluan aja," ujar Deri belari.

"Gak usah di tanggepin omongan Deri tadi, dia emang ngaco kalau ngomong," Raka berusaha menjelaskan, mencegah Rani berfikir yang Tidak-tidak, karena jangan sampai Rani salah paham dan tidak mau lagi berteman dengannya.

"Iya, gak apa-apa kok," Rani mengambil pandangannya.

Hening, hanya suara angin kencang dan suara dedaunan yang ada di belakang gedung sekolah mengiringi pejalan kaki mereka berdua.

"Raka."

"Rani."

Rani dan Raka saling menatap setelah bersamaan menyebut nama.

"Apaan?" Tanya Raka.

"Gak, Lo aja dulu," perintah Rani.

"Hem, sebenarnya gue mau nanya, tapi Lo jangan marah atau pun tersinggung yah," Raka memberanikan diri untuk mulai bertanya dan sangat hati-hati.

"Iya, santai aja."

"Sebenarnya ada hubungan apa Lo sama Gilang ?"

"Uhuk!" Pertanyaan itu membuat Rani tersendak kemudian, hal yang tidak di sangkah-sangkah, malah keluar dari mulut Raka.

"Kamu kenapa Ran?" Raka memegang belakang leher Rani, mencoba menetralkan suasana.

"Kak Gilang? Kok Lo bisa nanya soal kak Gilang ke gue ?" Rani merasa aneh, karena dia sama sekali tidak dekat dengan Gilang, ehh hanya satu kali Gilang membantunya, itu pun secara tidak sengaja, apa pantas itu di sebut dekat?

"Karena gue pernah liat Lo sama Gilang di perpustakaan, terus pas gue juga pulang dari rumah Lo, gue ketemu Gilang di depan rumah Lo."

Rani dan Raka duduk di bangku yang ada di belakang gedung, tepat pertama kali Raka memberikan sapu tangannya untuk menghapus air mata Rani.

"Kalau yang di perpustakaan sih karena emang gak sengaja ketemu terus kak Gilang ngebantuin bawa buku-bukunya, tapi kalau yang di rumah gue, seriusan gue gak tau, malah gue baru tau sekarang soal itu," Rani menatap Raka, membuat rambutnya terjatuh separuh di bahunya.

"Jangan tatap gue kek gitu Ran, gue gak sanggup buat Natap Lo balik," gumam Raka.

Kriiiiiiiiinggggg! Suara bel sekolah, tandanya jam istirahat kedua telah habis.

Raka menghela nafas panjang, ada rasa lega dan sangat di sayangkan, Momen seperti ini dapat terlewatkan begitu saja.

"Yuk masuk," ajak Rani. Raka mengangguk.

.
.
.

Raka Pov.

Deri melambaikan tangannya kepadaku ketika aku baru saja memarkirkan motor. Dia berlari ke arahku kemudian naik kesadel belakangnya.

"Kewarung dulu Rak. Ayo cepet," ujarnya terburu-buru.

"Emang gue tukang ojek?" Proteksi kepadanya.

"Udah, tancap aja!" Dia makin menjadi-jadi menepuk punggungku dengan cepat.

Kami kemudian memutar menuju warung Bu putu. Belum berhenti motorku, Deri sudah melompat dan mengambil tempat duduk terdekat, kemudian memesan 2 gelas kopi kepada Bu putu untuk kami.

"Jadi gini Rak. Menurutku sebagai pengamat dan pengawas kelakuan para pemuda dan pemudi. Hari ini adalah saat yang tepat untuk kamu mengutarakan perasaan kamu ke Rani," ujar Deri tanpa Tedeng aling-aling.

"Perhitungan primbon juga mengatakan, kalau kamu bilang ke Rani hari ini, kalau kamu itu suka sama dia. Kemudian Ditolak hanya kurang dari 30%. Dimana kemungkinan kamu diterima adalah 69%," lanjutnya dengan kecepatan formula 1 di sirkuit Sentul.

"Terus, yang 1% lagi ada Der?" Tanyaku, berusaha tertarik agar dia tidak kecewa karena aku tidak menghiraukan perhitungannya.

"Itu buat penyesalan, Rak," jawabnya sambil tergelak.

"Karena kata Charles Darwin 'janganlah mencintai dengan penuh 100%. Sisakan 1% untuk penyesalan,' gitu," ujarnya sembari menirukan gaya baca puisi anak-anak SD. Lalu tertawa terbahak-bahak tanpa kendali.

"Wow, jadi ternyata Charles Darwin itu pujangga ya? Aku baru tahu. Aku pikir dia motivator sukses sekelas Mario teguh," kataku kepadanya. Deri menghentikan tawanya, lalu melongo heran.

"Serius? Bukannya dia ilmuwan yang nemuin teori evolusi?" Tanya Deri tiba-tiba. Raut wajahnya menampakkan keseriusan tingkat tinggi. Aku sendiri jadi ragu apakah dia sesungguhnya benar-benar tahu Charles Darwin atau tidak. "Ah pokoknya begitu, kata Charles Darwin begitu. Kamu harus bilang sama Rani kalau kamu suka sama dia, malam ini juga!"

"Kenapa Lo yang semangat Der?"

"Dalam sebuah atau setiap cerita, Rak. Emang harus ada seseorang teman yang cerewet ngasih semangat tokoh utamanya untuk bikin keputusan dan ujungnya menyesali keputusan itu," jawab Deri. "Dan dalam cerita ini kamulah tokoh utamanya, hahaha," lanjutnya sambil terbahak-bahak.

Hampir 2 jam aku bersama Deri, dan akhirnya aku membulatkan niatku untuk kerumah Rani tanpa kukabari.
Motorku semakin laju, seakan ia tahu Susana hatiku sekarang.

Di depan pagar Rani aku mengerutkan keningku, mobil Rama terparkir jelas di sana. Kutatap masuk, terlihat Rama dan Rani sedang berdiri di depan pintu, Rama memegang tangan kanan Rani. Bisa terdengar jelas apa yang mereka bicarakan, sejujurnya aku tidak sanggup untuk melihat pemandangan seperti ini, tapi aku harus tahu dengan jelas, bagaimana perasaan Rani terhadap Rama.

"Ran, aku udah nunggu kamu hampir 2 Minggu, aku butuh kejelasan kamu sekarang, aku gak bisa nunggu lagi," ujar Rama tiba-tiba memecah kesunyian.

"Maaf banget kak, gue gak bisa."

"Kenapa Ran? Bukannya Lo yang nyuruh gue buat nungguin Lo? Kenapa sekarang Lo masih belum bisa? Atau karena Gilang?"

"Lagian, gue udah punya pacar kak.."

Mendadak aku merasakan sesak, pikiranku berkecamuk dengan runyam. Hatiku mengedor tidak jelas. Langit yang tadinya banyak bintang menjadi kosong. Langitku runtuh.

Aku tidak bisa lagi mendengar kan percakapan mereka, aku menyalakan motorku, meninggalkan halaman rumah Rani.

Di sepanjang perjalanan pikiranku hanya tertuju pada Rani? Pacar? Kenapa sikap Rani seperti memberiku harapan, sedangkan dirinya saat ini sudah menjalin cinta dengan pria lain? Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Rani?

Bersambung. . .
Nah loh, kira-kira pacar Rani siapa? Hihi

Kiss In The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang