2 3

622 63 9
                                    

Gadis merebahkan tubuhnya di atas kasur, melirik ponselnya yang berada di tangan kanannya, sama sekali tidak ada panggilan atau pun pesan dari Gilang, Gadis merasa gelisah, hingga akhirnya ia terbangun, menuju meja belajarnya, ia mulai menggerakkan tangan kanannya dengan sebuah pulpen tinta hitam di atas buku kosong.

Itu karenamu. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada hal yang tak harus disampaikan. Mengagumimu dengan diam-diam, berhasil membuatku tersenyum geli. Kau pasti tak tahu. Aku selalu memperhatikanmu. Gayamu saat bersandar di dinding, dengan tangan yang dilipat di depan dada dan kaki yang saling menyilang. Aku tergila-gila pada detective style-mu itu. keseriusanmu pada setiap hal, pembawaanmu yang sok misterius, kegemaranmu pada kimia. Semuanya tentang dirimu. Selalu mengingatkanku pada karakter manga kesukaanku, Shinichi Kudo. Kau benar-benar replikanya yang sempurna.

Gadis menutup kembali bukunya, ia beranjak dari duduknya, menuju kamar Rani.

"Lo udah balik?" Sambut Rani melihat Gadis masuk ke dalam kamarnya.

"Udah, udah dari tadi malah," ucap Gadis, perlahan menutup pintu kamar.

"Hem."

"Gue tau, pasti Lo mau tau kan?" Gadis menujuk ke arah Rani dengan senyum yang penuh arti.

"Tau apaan?" Rani menggaruk kepalanya, sesekali merapikan rambutnya.

"Semuanya, gue darimana, terus gue habis ketemu sama siapa."

"Emang penting?"

"Yaelah, gue juga tahu kok, sekalipun Lo gak nanya ke gue, gue bakal cerita kok," Gadis tersenyum manis ke arah Rani.

                                *****

Raka Pov.

Senja ini begitu dingin, aroma tanah basah masih menyeruak, tetesan airMu telah menyegarkan bumi ini. Aku mendongak menatap langitMu , sungguh membuatku nyaman sekaligus merasa kecil di semestaMu yang luas ini. Dan kupejamkan mataku. "Ahk, sebenarnya ada rasa kesal dan senang, hujan di saat keberangkatan ke sekolah."

"Raka!" Sahut bundaku, membuatku membuka kedua mata, kuraih ranselku di atas kasur, berlari menuju meja makan."

"Iya, bunda?"

"Ihh, ini udah jam berapa Rak, emang gak pengen kesekolah?" Bunda masih sibuk menata meja makan, menyiapkan piring-piring dan sendok.

"Kan hujan bunda," aku mendekati meja makan, duduk lalu menatap bunda.

"Hujan bukan sebagai alasan yah sayang, panggil adekmu cepat."

"Dinda! Dinda! Dinda!" Ku teriaki nama adekku dengan berkali-kali.

"Kamu tuh kayak di hutan aja," ujar ayahku yang baru saja ikut bergabung denganku dan bunda.

"Yah, mau gimana Yah, bunda nyuruh manggil Dinda."

"Tuh kan, bundamu lagi yang di salahkan," ayah terkekeh, di lanjut oleh bunda.

"Sabar kali kak, gue juga baru selesai," ucap Dinda setiba di hadapan kami.

"Nih, gara-gara bocah satu ini," ku tunjuk Dinda yang masih berdiri, ia mengeluarkan lidahnya ke arahku.

"Sudah-sudah, cepetan, entar telat lagi," bunda menepuk kedua tangannya.

Masih kupandangi Rani dari arah luar jendela kelas, apakah ini salah ? Wanita yang sudah mengakui dirinya sudah memiliki kekasih, masih tetap kulirik seperti ini ? Tak bisa kupungkiri aku masih menyimpan rasa untuknya, rasaku padanya lebih besar dari ketakutanku.

"Oke, ini masalah perasaan gue, dan gue tinggal nikmatin aja suasana kek gini sekarang, tanpa harus gue ngasih tau Rani," kulangkahkan kakiku masuk, masih menatap Rani yang terfokus pada buku dan pulpen yang di genggamnya.

"Raka!" Sahut Deri membuyarkan lamunanku. "Auu," lanjutku setelah kaki ku tersandung di meja paling depan, ini salah Deri.

"Hati-hati kali, lagian jalan tuh natap kedepan, bukan ke samping," ucap Deri.

"Yaelah, gue juga udah natap ke depan kali, natap masa depan gue maksudnya," batinku.

"Ngapain masih bengong, sana," Teriak Deri. Bisa kulihat Rani ikut menatapku, melempar senyum kecilnya ke arahku.

                               *****

Gadis benar-benar berfikir bahwa Gilang mungkin melupakan janjinya kemarin, ehh apakah ini pantas Gadis beranggapan seperti itu? Sedangkan yang mengabaikan janji di sini adalah Gadis.
Gadis mengerutkan keningnya, menyatukan kedua alisnya yang tebal.

"Apa gue coba telfon aja kali yah?" Ujar Gadis di dalam kamarnya.

Gadis kembali melempar ponselnya di atas kasur.

"Non Gadis," teriak bibi dari bawah rumah.

Gadis segera keluar dari kamar, menuruni anak tangga sambil berlari.

"Ada apa Bi'?" Tanya Gadis tiba di hadapan bibi.

"Ini bibi mau ke supermarket, non Gadis mau nitip gak atau apa gitu?"

Gadis menjadi lemas kembali sebelum mendengar bibi memanggil namanya. Untuk apa berlari dari atas rumah hanya untuk mendengar seperti ini? Benar-benar konyol.

"Yah bibi, Gadis kirain ada teman Gadis yang datang," Gadis menyilangkan kedua tangannya ke depan.

Gadis berfikir sejenak, tidak ada salahnya ke supermarket bersama bibi, barang kali bisa membuat fikiran Gadis fresh kembali.

"Gadis ikut deh bi," ujar Gadis. Langsung di angguki oleh bibi.

Sepanjang perjalanan, Gadis memainkan layar ponselnya.

Gadis Pov.

"Non Gadis!! Awaaaaasss!!!" Teriak seseorang dan tiba-tiba bug! Aku merasakan sesuatu menabrakku. Aku tersungkur. Aku merasakan sesuatu mengalir dari kepalaku. Cairan berwarma merah segar. Lalu semuanya menjadi gelap.

Bisa kurasa waktu berjalan lambat.
Aku membuka mataku perlahan. Samar-samar aku melihat ruangan di sekelilingku. Putih. Dan bau yang khas tercium olehku. Aku mencoba bangun. Namun, bagian kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit. "Aww" rintihku sambil memegang bagian kepala. Seorang laki-laki membuka pintu ruangan. Kami sempat berpandangan selama beberapa detik. Lalu laki-laki itu berlari ke arahku dan memelukku. Kenapa dia memelukku? Batinku.

"Gadis kamu tidak apa-apa? Apa masih sakit? Jangan dulu bangun kamu harus beristirahat," ujarnya.

Dia pikir dia siapa? Sok perhatian. Lagi lagi aku membatin.

"Kamu siapa?" Tanyaku. Laki-laki itu hanya terdiam. Menatap diriku dengan tatapan kosong seolah olah tak percaya apa yang telah aku katakan.

"Gadis? Ini aku! Gilang! Kamu ingat kan? Gilang. Kamu ingat kan?" Jelas Gilang sambil menggoyang goyangkan tubuhku. Aku hanya menggeleng.

Pria itu yang bernama Gilang berjalan membelakangiku, bisa kulihat ia memainkan layar ponselnya. Segera ku tarik ponselnya, ia menatapku, heran.

"Kamu jangan berdiri dulu, entar infus kamu lepas," ujarnya memegang kedua bahuku.

Gilang menatapku lekat-lekat, jaraknya tidak terlalu jauh. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tanyakan padaku.

"Ayah kamu kok belum datang yah?"

"Ayahku?" Gilang mengangguk.





Bersambung. . .

Kiss In The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang