•Part Twenty Three•

875 34 0
                                    

Setelah menjalani liburan selama satu bulan kini Beatriz kembali bersekolah. Banyak pengalamannya disaat liburan mulai dari masalahnya dengan Dyto sampai dirinya masuk penjara karena hampir melakukan hal senonoh padanya juga hutangnya pada Andrew yang bermiliaran, lalu jalan-jalan bersama teman-temannya, dan juga dengan... Darrel.

Ia mengingat dimana Darrel mengatakan bahwa ia berharap kalau dirinya dengan Beatriz bisa kembali bersama.

Apakah Beatriz harus memberikan Darrel kesempatan kedua? Bahkan mengingat kejadian dimana ia memeluk Darrel dan Darrel bilang ingin kembali bersama membuat kedua pipinya memanas dan jantunganya berdegup kencang tak karuan. Selain itu ia juga bimbang haruskah memberikan Darrel kesempatan kedua ataukah tidak sama sekali.

Kini Beatriz berada di mobil bersama Darrel. Daniel menyuruh Darrel untuk mengantar jemput putri kesayangannya itu, bahkan Natasya setuju-setuju saja malah Daniel dan Natasya merasa anaknya terlindungi bila disisi Darrel. Tentunya itu adalah lampu hijau dari camer bagi Darrel.

Lima belas menit akhirnya mereka memasuki pelataran sekolah dan Darrel memarkirkan mobilnya. Setelah selesai mereka pun melepas sabuk pengaman masing-masing.

"Um Rel, lo kan biasanya bawa motor tapi kenapa sekarang bawa mobil?"

Darrel tampak berpikir, "hmm kenapa emang?"

"Yaaa gapapa sih gue cuma nanya aja,"

"Gue ga mau lo kena debu sama polusi udara. Lo tau kan jakarta kaya gimana Be, gue khawatir sama kesehatan lo makanya mulai sekarang gue bawa mobil. Lagian kalo hujan gue bawa motor nanti ujan-ujanan..."

"Padahal gak papa kalo ujan-ujanan di motor juga" gumam Beatriz kecil. Darrel mengernyit,

"Hah? Tadi lo ngomong apa?"

Dengan cepat Beatriz menggeleng. Ia pun membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum kembali menutup pintu ia membawahkan tubuhnya sedikit.

"Btw makasih tumpangannya ya" ucap Beatriz dengan senyum manis terpampang di wajahnya. Darrel pun mengangguk. Beatriz menutup pintunya dan berjalan pergi menyusul ketiga temannya yang sedang berjalan. Didalam mobil Darrel benar-benar tidak bisa mensterilkan detak jantungnya. Ia memegang dadanya yang bergetar kencang, bahkan suaranya terdengar olehnya. Mulai sekarang ia harus membiasakan dirinya sendiri melihat senyuman manis itu.

Ia mengingat senyuman-senyuman yang Beatriz tujukan untuknya. Senyuman itu bagaikan surga berada di hadapannya. Begitu indah, manis, cantik dan menyejukkan. Selain itu Darrel juga ingat tawa Beatriz. Dari situlah ia berpikir dari sebuah senyuman bisa menimbulkan sebuah rasa bukan hanya dari candaan semata.

Sampai lamunannya terbuyarkan ketika ada seseorang yang mengetuk-ketuk kaca mobilnya menggunakan kunci motor. Saat Darrel menengok betapa terkejutnya dirinya saat melihat Babams yang menempelkan mukanya di kaca.

"HAAH! Astagfirullah Babams!"

Darrel segera keluar dari mobilnya membawa ponselnya dan tasnya yang ia pakai di sisi bahu setelah itu ia mengunci mobilnya dan berjalan bersama Babams.

"Anj*ng lo Bams! Kaget gue kampret! Awas lo kek gitu lagi" tegur Darrel yang membuat Babams tetap tertawa.

"Lo harusnya lihat muka lo Rel hahahahahaha lucu banget bhahahahahaha..."

Bahkan sampai di kelas pun Babams tetap saja tertawa, entah menurut Darrel itu tidak terlalu lucu tapi kenapa Babams tetap saja tertawa? Apakah temannya ini sudah gila dan menjadi salah satu pasien rumah sakit jiwa? Entahlah, hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu.

Darrel memasuki kelas 12 IPS 4, suasana seketika ramai oleh teriakan kaum hawa -Fans DarDilRanBams-ketika dirinya dengan Babams masuk kelas tersebut.

Finesse (1) {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang