Andri menyugar rambutnya setelah bangun dari kegiatan rutinnya menonton televisi sambil bersantai di atas sofa yang menjadi salah satu tempat favoritnya. Ia mengubah posisinya kini menjadi bersandar malas menatap layar datar yang mulai membosankan.
Sedetik kemudian, indra pendengarannya menangkap suara tombol kunci apartemen yang berbunyi empat kali. Jumlah dari password apartemen yang sedang ia huni.
Pikiran jailnya tiba-tiba muncul dan Andri segera bersembunyi di balik sofa cokelat itu. Kebiasaannya yang sering mengagetkan orang-orang, masih belum hilang.
"Andri!" panggilan Ata disambut dengan tawa yang Andri tahan sekuat mungkin.
Pria jail itu ingin mengetahui aktivitas Ata ketika tidak ada siapa pun di apartemen. Seperti dugaan Andri, Ata tidak berusaha mencarinya. Gadis dingin itu malah bergerak ke bawah meja, lalu ke lemari pajang untuk mengambil barang yang ia butuhkan.
Wanita tinggi itu berjalan mendekati jendela dan membukanya lebar-lebar, membuat udara panas dari dunia luar menyentuh kulit yang tidak terbungkus kain. Andri sempat tersentak melihat tingkah Ata yang begitu aneh. Namun, gerakannya terhenti ketika pemantik mulai menyulut batang kecil di sela jari Ata yang mengepulkan asap.
Suasana yang terasa berbeda dari sebelumnya. Gadis itu terlihat begitu kesepian. Pandangan kosong menerawang indahnya ciptaan Sang Kuasa. Terangnya sinar matahari yang begitu menyengat, tidak menyurutkan gadis itu untuk tetap berada di tempatnya.
Pasti ada sesuatu yang terjadi. Tebak Andri dalam pikirannya.
Ia pun tak ingin mengganggu. Andri kembali terduduk, menunggu Ata menghabiskan sebatang rokok bersama kenangan yang ikut terbakar di dalamnya.
Helaan napas Ata mengakhiri kegiatannya di bibir jendela. Andri bangkit dari duduknya dan bergerak mendekati Ata yang kini sedang meraih asbak. Wajah jailnya tercetak sempurna. Berjalan mengendap-endap dan ....
"DOR!" Andri mengagetkan Ata yang hendak berbalik.
Ata yang terperanjat oleh suara Andri. Tubuhnya oleng ke luar jendela.
"Ata!" pekik Andri yang gagal meraih tubuh gadis itu.
Kepanikan terlihat jelas di wajah Andri. Ia menengokkan kepalanya ke luar jendela. Degupan jantungnya tidak berhenti bertabuh cepat ketika melihat tubuh Ata oleng dan terjatuh ke luar jendela.
Gerakan refleks tangan gadis manis itu masih sempat meraih jendela tempatnya bertahan. Ata berpegangan erat ke jendela putih apartemen. Tubuhnya menggelantung dari ketinggian lantai sembilan.
Segera Andri mengulurkan tangannya untuk menarik tubuh Ata yang mulai kehilangan kekuatan.
"Bertahan dikit lagi!"
Ata tidak membalas. Hanya kepanikan yang terpancar di wajahnya. Sedikit demi sedikit, ia berhasil ditarik oleh lengan kekar Andri.
Andri menarik sekuat tenaga hingga Ata berhasil masuk dan terjatuh di pelukan Andri. Napas mereka saling berbalas. Terengah-engah diiring rasa syukur karena telah lepas dari maut.
Andri segera menggulingkan Ata dan bangkit dari tempatnya. Ia memeriksa seluruh tubuh Ata yang masih terkulai lemas.
"Kamu ga apa-apa, kan? Ga ada yang luka? Ada yang sakit ga?" cecarnya dengan panik.
Gadis itu mengulurkan tangannya yang kemudian disambut oleh Andri untuk segera membantu Ata bangun. Seketika pukulan melayang tepat di dada bidang Andri. Diiringi tangisan ketakutan yang jatuh di pipi chubby Ata.
"Kamu tuh gila, ya?! Mau bunuh aku, hah? Sialan lu! Udah numpang, malah nyelakain gue! Kamu ga tau kalau aku ini takut, hah? Bangsat ..." umpat Ata yang masih terucap hingga pada akhirnya Andri menggenggam tangan Ata.
Tangan itu menghentikan Ata dan mengunci pergerakannya hingga terasa melemah. Masih membiarkan Ata melepaskan ketakutannya, Andri banhkit menuju dapur. Mengambil gelas dan mengisi air sampai penuh.
Andri kembali melangkah dengan tenang dan berlutut di hadapan Ata. Mengulurkan gelas di tangannya dan meminta Ata untuk meminum air dalam gelas yang ia bawa. Tanpa aba-aba, Ata meraih gelas itu dan meminumnya hingga tandas.
"Udah mendingan?" tanya Andri saat Ata mengelap bibir dengan tangan putihnya.
Ata menatap sengit. Lalu ia segera membuang wajahnya. Ia sendiri tahu, bagaimana paniknya Andri tadi. Wajah pria itu begitu pucat pasi. Tangan kekar itu terasa dingin ketika menariknya bangun.
"Udah," ketus Ata. "Lagian, gila ya, ngagetin orang ga tau tempat," tambahnya.
Andri duduk, memosisikan diri sejajar dengan Ata. Ia bersandar ke dinding ruangan sambil memeluk lututnya yang ia tekuk.
"Berasa dejavu. Setahun lalu, aku juga pernah ngagetin Lara. Ekspresinya lucu banget," Andri menerawang ingatannya yang selalu ia simpan rapi. Senyum terukir tipis di bibir Andri.
"Emang kamu ngagetinnya di mana? Di tempat kayak gini juga?" sinis Ata.
"Depan rumah. Setelah lebih dari sepuluh tahun kita ga ketemu."
Ata memutar bola matanya. "Ya ampun, Andri. Tempat kita beda jauh. Kalau gue mati, gimana?"
Andri menundukkan kepalanya. Menghela napasnya dalam-dalam dan kembali menatap Ata dengan penuh rasa penyesalan.
"Dan waktu kamu jatuh tadi, aku ngerasa jantung ikut copot. Sama seperti saat dulu liat Lara masuk rumah sakit karena syok. Lagi-lagi, aku ngerasa takut. Takut kehilangan."
Ata terdiam. Andri yang biasanya melayangkan candaan basi, kini terdengar sangat serius. Ata bisa merasakan pria itu benar-benar menyesal.
Situasi pun terasa begitu canggung. Mereka saling mengunci pandangan. Seakan waktu berhenti berputar.
Namun, sedetik kemudian, Ata mengerjapkan matanya karena detak jantungnya mulai tidak teratur. Untuk pertama kalinya, Ata memperhatikan detail wajah Andri. Alis matanya yang tebal, hidungnya yang mancung, bulu halus yang tumbuh di dagu, dan rahangnya yang tegas. Tampan.
Ata mengalihkan pandangan ke gelas yang ada di tangannya. "Ya udah. Jangan diulangin lagi."
"Maaf. Kalau aku keterlaluan. Dan juga ...," Terdengar seperti salam perpisahan di telinga Ata. "makasih udah mau nolong."
Mereka sama-sama terdiam. Situasi semakin terasa canggung. Ata pun tidak seperti biasanya yang mudah berbicara semaunya.
"Nyantai aja. Lara tadi udah cerita semua. Dan semua yang kamu ceritakan, sama dengan yang kamu ceritakan. Untuk sementara, aku percaya kamu tidak bersalah. Ga tau kalau nanti. Tapi aku masih menyalahkan kamu yang ngebunuh orang. Itu tetep salah!" tegas Ata.
"Oke. Aku terima. Ngebunuh memang salah. Tapi aku tetep tidak merasa salah karena harus ngejaga Lara yang notabene adik ipar aku. Dan mungkin mulai sekarang, kamu yang harus aku jaga. Gimana?"
Ata mengerutkan keningnya. "Kenapa aku?"
"Siapa tahu, kita jodoh yang tertunda"
Ata berdecih. "Untung aja minumnya udah abis. Kalau nggak, udah aku siram muka kamu pake air ini." Ata mengangkat gelas di tangannya yang sudah kosong.
"Ta ...," Andri menatap lekat gadis di hadapannya dengan intens. "Aku masih bisa isi hati kamu, kan?"
Ata bergeming. Dia melihat ke arah Andri yang begitu serius mengunci pandangannya.
"Bisa," sejenak Ata menghentikan ucapannya. "tapi lebih baik kamu pergi dari sini."
***
~tbc~
Ini part paling pendek...
Udah telat banget....
🙏🙏🙏
![](https://img.wattpad.com/cover/138670298-288-k115348.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
He's in My Room
Literatura FemininaAtaya, wanita yang gemar mengurung diri di apartemennya, tiba-tiba harus berurusan dengan seorang buronan kasus pembunuhan. Hidupnya berubah total ketika ia pasrah menjadi suruhan pria misterius itu. Terpenjara dalam rumahnya sendiri dan terancam t...