HMR - 20 - Lebih Baik

8.6K 1.2K 35
                                    

Andri menerawang ke arah rumah yang berada tepat di hadapannya. Duduk di dalam mobil dengan tatapan dingin dan usapan jari di bibir. Otaknya bekerja keras mencari jalan untuk masuk ke dalam rumah bergaya khas Eropa itu. Beberapa kali ia menghentakan tangan ke stir mobil akibat buntunya jalan yang ia temui dalam pikirannya.

Dinding menjulang tinggi mengelilingi rumah, pos satpam yang petugasnya tidak lelah berjaga, dan kamera pengawas yang selalu sigap berpaling ketika ada pergerakan. Sulit mencari celah untuk masuk ke rumah besar itu.

Detik jam seakan menghitung mundur bom yang akan meledak. Sudah enam jam berlalu pria berkemeja putih itu menunggu, namun sampai saat ini belum menemukan titik terang. Keberadaan Ata dan sang penculik masih bersifat tebakan saja.

Ini keputusan yang sulit. Nekat menyelamatkannya, atau menunggu sampai hari itu tiba. Namun, mau tidak mau harus berhasil dalam satu tindakan. Jika tidak, Ata bisa saja pergi darinya untuk selama-lamanya.

Perasaan ini membuatnya sesak. Serasa ada benda berat yang menekan dadanya. Ia hendak membuka knop pintu di sisi kanannya, namun bunyi nyaring dari gawainya membuat ia terhenti.

"Ya?" ucapnya ketika ia menggeser layar dan menempelkannya di telinga dengan orang di seberang line.

Tangan kiri pria berjaket hitam itu mengepal kuat ke stir mobil, membuat urat-urat nadinya menonjol ke permukaan.

"Ngga bisa! Ga ada waktu, Ndra. Kalau ga sekarang, kapan lagi," bentaknya.

Orang di seberang telepon menghela napas. "Keras kepala lo ngalahin kerasnya batu ginjal! Gue udah punya cara buat nyelametin cewek lo itu. Kita tunggu hari H--"

"Kalau gagal gimana?" sela Andri cepat.

"Ndri, walaupun gue gagal, setidaknya cewek lo masih idup, dan lo masih bisa cari pengganti."

"Dan gue mau penggantinya Lara,"

"Sialan. Ngga! Oke, gue yakin pasti berhasil. Pokoknya, besok pagi lo dateng ke hotel jam lima pagi. Telat sama dengan gagal." Indra mengakhiri teleponnya sebelum emosi meledak.

Andri pun setuju. Bahkan ia langsung meluncur dan menunggu di tempat yang Indra janjikan. Terlalu dini memang, tapi rasanya tidak ada tempat lain yang bisa dituju selain tempat ini.

***


Rencana pun telah disusun, Indra segera datang saat kakak kandungnya itu menghubungi ponselnya berkali-kali. Bahkan pria itu mengirimkan seseorang untuk menjemput Indra sesegera mungkin.

"Semuanya tinggal action. Ribet banget sih lo jadi orang. Gue bilang jam lima, bukan jam tiga," sungut Indra kesal karena harus meninggalkan istrinya di rumah.

"Mau coba di posisi gue? Gue sembunyiin Lara--"

"Nggak, makasih. Udah sana pergi. Gue masih ngantuk," usir Indra yg langsung merebahkan diri di atas sofa.

"Harusnya lo yang pergi. Ini ruangan gue. Lupa?"

"Lo ga punya ruangan semenjak ngilang." Indra mengibaskan tangannya.

Andri mendengkus kesal. Kalau bukan karena ingin menyelamatkan Ata, mungkin udah dipiting kepala Indra. Pria manik hitam itu pun memutuskan pergi dan melihat ruangan yang akan menjadi tempat pernikahan Ata dengan mantan tunangannya.

Pernikahan yang telah dirancang dengan paksaan karena ada unsur penculikan. Bahkan Ata pun telah memutuskan pertunangan dengan kekasihnya itu. Tidak ada salahnya jika Andri merusak pernikahannya kan?

Calon pengantin pun datang. Tak disangka, pengantin wanita datang menggunakan kursi roda dalam keadaan tak sadarkan diri. Andri menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika wanita yang ia cintai tertunduk lemas. Hampir saja ia gegabah hendak merebut Ata secara paksa. Namun ia tahan dan segera menghubungi Indra.

He's in My Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang