Sudah lima jam berlalu, Ata masih belum bergerak dari tempatnya. Berdiam diri memandang jendela besar yang berada tepat di sisi tempat tidurnya. Menerawang ke arah langit yang mulai menampakkan awan mendung, menutupi cerahnya sinar matahari.
Dia menghela napas dalam. Matanya sembab, seakan sulit terbuka. Mata sipitnya membuat ia lebih enak terpejam daripada melihat indahnya dunia.
Ah, mungkin sudah tidak terasa indah lagi semenjak pengkhianatan tunangannya. Ata bangkit dari tidurnya. Memijat kening yang terasa pening. Ia menengokkan kepalanya ke arah pintu setelah terdengar ketukan dari arah luar.
"Oiii! Suster! Bangun! Kunci HP-nya apa, nih?" teriak Andri.
Ata melangkah menuju pintu dan membuka pintu tanpa aba-aba, membuat Andri yang bersandar di pintu, jatuh menimpa tubuh gadis manis itu.
"Aaaw, sakit!" pekik Andri dan Ata bersamaan.
Kalau kalian berharap mereka akan terdiam satu sama lain sambil saling pandang, jangan harap akan terjadi. Karena Ata bukan tipe wanita yang mudah terenyuh. Apalagi oleh pria seperti Andri. Seorang buronan kasus pembunuhan yang mencintai adik iparnya.
"Kamu tuh ngapain, sih? Minggir!" Ata menyingkirkan tubuh pria berbadan proporsional itu dengan sekali hentakkan.
Baginya, melihat tubuh tanpa baju, bukanlah hal yang aneh. Malah, dia sering memasangkan kateter urin--alat berbentuk pipa untuk mengeluarkan urin--untuk para pria. Secara otomatis, dia melihat bahkan memegang alat vital milik pria.
Andri menyingkirkan badannya, berguling ke arah kanan dan menahan luka di perutnya. "Aduh, jangan berdarah lagi ...," lirihnya.
Andri perlahan melirik ke arah lukanya. Namun, sebelum terealisasi ....
"Ya ampun, Dri, darahnya rembes," pekik Ata.
Andri pun panik dan kembali merebahkan diri. "Hah? Masa? Serius? Jangan jahit lagi, please."
"Iya, darahnya seember. Bentar lagi, kamu mati kehabisan darah." Ata berdiri, membersihkan badannya dan berbalik menuju lemari bajunya.
Ragu-ragu, Andri bangun dan melihat ke arah lukanya. Tidak ada warna merah yang menembus kasa penutup luka. Sialan!
Andri berjalan ke arah Ata dan menarik paksa lengan gadis berambut panjang itu hingga membalik ke arahnya. "Lo ngerjain gue?"
Ata terdiam, melihat ke arah kedua tangan Andri untuk memastikan tidak ada senjata tajam yang dipegang pria itu.
"Sorry, kalau kamu ketakutan. Itu balasan karena kamu sebelumnya nakutin. Setidaknya aku ga main senjata tajam," ucap Ata berhati-hati.
Andri masih menatap Ata dengan garang. Namun, pandangannya secara tidak sengaja menangkap benda berkilau di belakang Ata, tepat di depan barisan baju gadis di hadapannya.
"Itu ..., obat apa?" tanya Andri ketika melihat sebotol ampul obat.
Ata berbalik dan mengambil obat, lalu membaca label yang melingkari benda itu. "Oh, ini obat bius," katanya santai.
Ata terdiam. Dia pun meringis dengan penuh penyesalan. Berbanding terbalik dengan Andri yang membulatkan matanya lebar-lebar.
"Jadi ..., kamu sengaja jahit luka tanpa obat bius, padahal kamu masih punya stoknya?!" geramnya.
"Ouw, jangan salah sangka, Dri. Aku lupa kalau ini masih aku simpen di dalem lemari. Tapi kabar baiknya, aku bisa jahit luka kamu lagi pake ini." Ata sedikit mendekat dan berbisik di telinga Andri. "Apa lagi nih, ya, kalo orang marah, gampang banget ngebuka lagi jahitannya, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
He's in My Room
ChickLitAtaya, wanita yang gemar mengurung diri di apartemennya, tiba-tiba harus berurusan dengan seorang buronan kasus pembunuhan. Hidupnya berubah total ketika ia pasrah menjadi suruhan pria misterius itu. Terpenjara dalam rumahnya sendiri dan terancam t...