HMR-1-Siaga Satu

32.5K 1.9K 46
                                    

Lagi-lagi, tangis pilu menggema di kamar rawat inap, tempat wanita itu bertugas. Pasien yang baru masuk itu masih saja histeris setelah kehilangan anaknya yang telah berada di dalam rahimnya selama delapan bulan.

Ataya Aznii Agata, nama perawat yang kini sedang membuka berkas rekam medik milik salah satu pasien bernama Lara Zaina Ardali. Beberapa kali ia meringis ketika membaca apa yang tertuang dalam lembar diagnosa.

Embusan napas terdengar jelas dari gadis yang disebut-sebut paling manis di Rumah Sakit Global Medika. Tubuh tinggi, kulit putih, rambut ikal alami, dengan pipi yang tembem.

Ruangan yang didominasi warna putih, dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan serta wangi karbol khas Rumah Sakit, menjadi background suasana duka malam ini.

Padahal, sudah sering kali ia mendengarkan nyanyian pilu dari seorang ibu yang kehilangan anaknya di ruangan kebidanan ini. Namun, tetap saja sebagai seorang wanita, hatinya ikut teriris ketika salah satu pasien kehilangan calon buah hatinya.

"Harusnya aku mati aja waktu di Bali. Harusnya Ibu ga salah catat nama aku di akte kelahiran. Hahaha, apaan Lara? Gara-gara nama ini, hidup aku terus-terusan duka," teriak wanita bermata bulat itu dengan tawa miris yang ada di sela kata-katanya.

Oh my God. Siaga satu. Pasien sebelumnya yang Ata tangani, nyaris bunuh diri. Wanita dua minggu lalu, yang keguguran karena terjatuh dari tangga, hampir saja menjatuhkan diri dari lantai ke lima Rumah Sakit ini.

"Nggak, Ra. Kamu ga boleh gitu. Kita belum diberi kepercayaan oleh Allah untuk mendidik seorang anak," ucap laki-laki yang merupakan suami dari ibu malang itu dengan sabar. Namun, wajahnya terlihat tampak putus asa.

"Ini juga salah kamu, Ndra! Kamu terlalu posessif. Kamu cemburuan. Kamu itu sama aja ga percaya aku."

"Aku percaya kamu, tapi ga orang lain. Aku ga bisa biarin kamu deket laki-laki lain karena takut kejadian sama si brengsek itu terjadi lagi!" tegasnya kala mengingat Rudi yang hampir menguasai istrinya. "Kamu pikir, kamu aja yang kehilangan? Aku pun sama! Kehilangan calon anak yang udah aku tunggu!"

Suaminya cemburuan, dan istrinya? Jarang mengungkapkan isi hatinya, alias ngebatin. Ata berspekulasi dalam pikirannya.

Namun, bisikan kepalanya buyar saat seorang dokter memerintahkan Ata untuk memberikan obat penenang kepada pasien histeris itu.

Wanita tinggi itu datang dengan bak spuit yang dia bawa dalam genggamannya. Mendekati ruangan VIP yang begitu riuh oleh tangisan pasien dan seorang wanita paruh baya. Di sana pun ada seorang dokter penyakit dalam berjas putih bertuliskan RS. Global Medika. Ataya menebak, kalau dia merupakan kerabat dari si pasien.

Ataya tersenyum singkat dan memanggil suami pasien untuk diberikan penjelasan mengenai obat yang akan diberikan. Awalnya Indra tidak tega, membiarkan istrinya diberikan suntikan obat penenang. Namun, ia pun tidak ingin melihat Lara yang terus menerus histeris meratapi kesedihannya.

Dengan terpaksa, Indra mengangguk dan membiarkan perawat itu mendekati istrinya. Indra memeluk erat wanitanya sampai akhirnya jarum suntik tiga cc menembus pembuluh darah vena di tangan mungil Lara.

Tangisan Lara pun mulai tenang. Indra mengusap wajahnya setelah lelah menenangkan istrinya. Belum lagi, duka pun menyelimuti perasaannya sekaligus rasa bersalah yang merundungnya.

Indra duduk menenangkan diri di luar ruangan. Katya dan Rendra kini berada di dalam ruangan menemani menantunya. Serpihan luka begitu menyayat hati. Membayangkan calon anaknya yang terlilit tali pusat bagaikan mengikatnya dalam tidur.

Jahat. Dirinya jahat dan merasa berdosa. Membiarkan anaknya meregang nyawa dalam gelap rahim ibunya. Belum sempat menikmati tawa bersama, bahkan tangis pun belum sempat mengusik indra pendengarannya.

He's in My Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang