Wanita berambut pendek itu masih terlelap dalam lelahnya. Ruangan serba putih, dan bau khas rumah sakit menyeruak memasuki indera penciuman. Ruangan VIP, dengan satu orang penunggu yang masih menunggu Ata tersadar.
Sudah tujuh jam lamanya gadis itu terlelap. Sengaja tidak dibangunkan karena dokter menganjurkan pasien untuk tidur lebih lama. Kelelahan dan kurang nutrisi menjadi pemicu hilangnya kesadaran Ata.
Bulu mata lentiknya mulai bergerak. Lara yang semenjak tadi menunggu, begitu antusias melihat mata itu mulai terbuka. Tarikan sudut bibirnya menyambut kembalinya Ata dari tidur panjang.
"Welcome Ata," sambut Lara hangat.
Mata hitam gadis itu menyapu seluruh ruangan, hingga akhirnya menatap tangan kirinya yang terdapat selang infus di tangannya.
Rumah sakit. Batinnya.
Matanya terpejam kembali, seakan ada lem yang merekatkan kedua kelopaknya. Seluruh tenaga hilang. Bahkan untuk bernapas pun sulit.
"Andri kenapa, Ra?" tanya Ata lirih.
Wanita berambut cokelat itu malah kembali bertanya. "Emang Bang Andri kenapa?" tanyanya polos.
Ata membuka matanya sedikit untuk melihat ekspresi wajah Lara. Dia menghembuskan napas kasar. Ata tahu kalau Lara tidak berbohong. Dan lagi, memang sebelumnya pun tidak ada kebohongan di antara mereka.
"Ga tau." Jari jemarinya mengepal sekuatnya. "Dia ga mau ketemu. Apa dia ga suka aku nangis di depan dia?"
Suaranya terbata dan sesekali tertahan. Lengan Ata terlihat semakin kurus. Bagian tubuh itu menutupi kedua matanya yang telah mengeluarkan buliran air duka.
"Dia benci aku karena aku anak dari orang yang udah bikin dia masuk penjara. Ya, kan? Dia ga suka aku selalu datengin dia. Ya, kan?"
Lara terdiam. Dia tidak tahu ada masalah apa antara Andri dan Ata, jadi bingung untuk membalas perkataan wanita yang sedang lemah itu. Mau berbohong pun percuma, karena tidak tahu apa yang harus ditutupi.
Kenyataan kalau Papa Ata yang menjadi dalang semua ini tidak dapat dipungkiri. Tapi kalau Andri benci Ata gara-gara ini? Lara tidak tahu.
Wanita bermata bulat itu menyentuh pundak Ata dan mengusapnya perlahan. Berusaha menenangkan perasaan gadis yang sedang menangis tersedu-sedu.
"Ata, sebenarnya gue ga tau gimana perasaan Bang Andri. Tapi ...," Lara berhenti sejenak yang membuat lengan Ata menyingkir dan pandangan mereka saling beradu. "kata Indra, Bang Andri itu serius ngejar lo. Sebenarnya, Bang Andri itu dikarantina sama Mama Katya dan Papa Rendra. Tapi begitu tau lo diculik, Bang Andri langsung kabur lewat jendela. Dia loncat dari lantai dua. Ya aku sih nyimpulin dia itu emang suka elo.
"Mungkin ada sesuatu yang ga boleh lo tau. Tapi gue juga ga tau itu apa. Gue juga belum berkunjung sekali pun soalnya ga boleh sama Indra. Tau sendiri, kan kalau menyangkut Bang Andri, Indra itu suka sensitif. Indra sih sering ketemu Bang Andri. Tapi ga bilang apa aja yang mereka omongin."
Ata bergeming. Otaknya berputar keras kembali ke masa saat terakhir ia bertemu Andri.
Apa yang salah? Baginya, tidak ada hal besar antara dirinya dan Andri. Seperti hal biasanya. Mereka bertemu, berbincang, berdebat, dan berpisah.
Apa ada sesuatu yang terlewat? Ata memejamkan mata. Mengabaikan Lara yang masih berbicara. Seperti biasa, Lara selalu menjadi orang yang paling dominan berbicara ketika mereka sedang berdua. Pikirannya masih menyelami pertemuannya dua hari lalu hingga pada akhirnya ....
"Apa karena itu?" Ata membuka matanya dan berkata lirih.
"Hah? Apanya?" Lara mengerutkan kening, menatap ke arah Ata.

KAMU SEDANG MEMBACA
He's in My Room
ChickLitAtaya, wanita yang gemar mengurung diri di apartemennya, tiba-tiba harus berurusan dengan seorang buronan kasus pembunuhan. Hidupnya berubah total ketika ia pasrah menjadi suruhan pria misterius itu. Terpenjara dalam rumahnya sendiri dan terancam t...