Suasana dalam apartemen itu begitu hening. Hanya ada Andri, Ata, dan denting jarum jam yang memenuhi ruangan.
Perbincangan siang tadi menyisakan kenyataan yang seharusnya mereka jalani. Memecahkan masalah yang ada demi kelanjutan hidup lebih baik.
Andri mengatakan sesuatu yang membuat Ata bungkam. Tidak seperti biasanya, Ata tidak merespons perkataan Andri. Bingung harus berkata apa. Ingin mengingkari, namun itulah yang seharusnya dilakukan.
"Kok diem?" Andri memecah keheningan.
Ata menyibakkan poni. Mengubah posisi duduknya yang baginya serba salah. Bersandar tak nyaman, menopang siku ke paha dengan punggung sedikit membungkuk pun terasa gusar.
Pandangan mereka bertemu pada satu titik, di mana meja cokelat menjadi penengah di antara mereka.
"Aku ga tau harus ngomong apa. Aku bingung," jawab Ata kalut.
Pria berkaos putih itu tersenyum kecut. Dia terlihat lebih bersih. Ya, Ata memerhatikannya. Rambutnya tertata rapi dengan potongan baru. Andri berkata bahwa kemarin dia merapikan rambutnya ke tukang cukur ketika tragedi pelecehan Candra terjadi.
"Aku pasti balik ke sini."
Bukan, bukan itu penyebab kegelisahan yang dialami Ata. Bukan itu yang membuat Ata kalut.
"Aku tahu kamu bakal balik ke sini, tapi gimana kalau kamu ketangkep, Ndri? Gimana kalau kamu dipenjara? Gimana kalau hukumannya lama? Gimana kalau ... kalau ..." Ata berhenti sejenak, mengusap bibir bawah dengan jari jemarinya. "Kalau Candra ke sini dan kamu ga ada?"
Andri tidak berpikir sampai ke situ. Gertakannya terhadap Candra membuat pikirannya menyingkirkan pria menjijikan itu dari segala perhitungan.
"Dia ga akan balik lagi."
"Gimana bisa tau? Kamu bukan dukun. Kamu-"
"Tapi kita ga bisa terus menerus seperti ini, Ta." Andri memotong ucapan Ata. "Aku ini buronan. Kamu bisa ditangkap karena menyembunyikan buronan."
"Aku ga peduli tentang itu. Yang aku takutin itu kamu. Gimana kalau kamu kena hukuman mati?" mata Ata sudah berkaca-kaca.
Ah, entahlah, kenapa dirinya bisa secengeng ini. Padahal dulu saat bersama Candra, ia selalu tampil kuat. Ia selalu menjadi wanita yang tegar. Tapi, kenapa pria asing ini bisa begitu mudah membuat hatinya berduka. Apakah pria itu telah berhasil mendobrak dinding perasaannya?
"Ata ... hukum di Indonesia tidak sedangkal itu. Kamu tau, orang yang melakukan pembunuhan berencana aja rata-rata di hukum seumur hidup atau cuma 15, 20 tahun penjara. Belum lagi potong remisi." Andri berkata layaknya orang yang telah mendalami hukum pidana. "Aku memang tidak yakin bisa lepas dari jeratan hukum. Tapi aku yakin, hukumanku tidak akan selama itu dan aku pastikan, aku bisa menjaga kamu."
Tidak. Mendengar kata hukuman dan penjara begitu ia benci. Ia tidak ingin pria di hadapannya menyerahkan diri begitu saja pada dunia yang kejam.
"Tapi, Ndri--"
"Percaya, aku pastikan kamu pindah dari sini dan resign dari Rumah Sakit sebelum aku menyerahkan diri. Indra pun ikut bantu untuk meringankan hukuman. Ini harus aku jalani atas buah dari tindakanku. Kita pasti bisa menikmati indahnya kehidupan setelah membayar apa yang semestinya kita bayar."
Ata menyerah. Memang seharusnya seperti ini. Dia pun berusaha menenangkan hatinya. Akan ada pelangi setelah hujan reda. Akan ada kebahagiaan setelah masalah terlewati.
"Anggap aja aku lagi kerja lembur bagai quda sampai lupa pasangannya buat biaya nikah."
Ata tersenyum tipis. "Pasangan? Siapa?" tanyanya dengan nada sinis.

KAMU SEDANG MEMBACA
He's in My Room
ChickLitAtaya, wanita yang gemar mengurung diri di apartemennya, tiba-tiba harus berurusan dengan seorang buronan kasus pembunuhan. Hidupnya berubah total ketika ia pasrah menjadi suruhan pria misterius itu. Terpenjara dalam rumahnya sendiri dan terancam t...