Tahun 1916
Marona berlari di tengah hutan lebat. Kaki telanjangnya mencecah daun-daun kering, juga ranting-ranting.
Tidak peduli dengan semua itu. Di kepalanya sudah tersimpan satu tujuan. Melenyapkan si pemilik warna. Demi membalaskan dendamnya seratus tahun yang lalu, karena perlakuan tetua mereka, dia tidak bisa bertemu dengan orangtuanya.
Tiga warna tersisa, dia harus menyapu bersih tugasnya. Kali ini si pemilik warna kuning menjadi target.
Setelah sampai di bibir desa. Marona memelankan langkahnya, menurut Bibi Marin si pemilik warna kuning tinggal di desa itu. Dia berjalan diantara penduduk desa yang sedang melakukan aktivitas seperti biasa, sambil matanya berkeliaran. Penciumannya cukup tajam untuk menemukan si pemilik warna kuning.
Sebentar lagi, dia harus berhati-hati di tengah keramaian. Ditambah, pemilik warna kuning yang cukup mempesona. Lengah sedikit Marona akan terhanyut dalam kehangatan aura si pemilik warna kuning.
"Selalu waspada, jangan biarkan orang-orang curiga. Jangan meninggalkan jejak. Penduduk desa itu lumayan padat."
Marona selalu ingat dengan pesan Bibi Marin. Iya, memang penduduk di desa ini lumayan padat. Namun, aktivitasnya lumayan sibuk, jarang ada orang yang saling memerhatikan. Dia memiki peluang cukup untuk menculik si pemilik warna kuning untuk dibawanya pergi ke tengah hutan. Menghisap energi.
Matanya masih berkeliaran, dibantu penciumannya yang tajam. Sedikit lagi, sudah semakin dekat. Marona mempercepat langkah. Dari arah berlawanan seorang berlari.
"PENCURI!" seseorang di belakang orang yang berlari berteriak. Menyeru. Tidak biasa dengan situasi seperti itu, Marona menjadi panik. Seseorang berlari semakin mendekat ke arahnya. Tidak ada pergerakan sampai tubuhnya diseluduk dan nyaris terjatuh. Beruntung seseorang telah menyelamatkannya.
Bau yang diciumnya menyengat. Tubuhnya hangat. Dekapan yang begitu erat. Tidak salah lagi, dia adalah orangnya. Marona meliukkan leher, mendongak. Seorang yang mendekapnya tersenyum, aura kuning membungkus seseorang itu. Marona segera membuat jarak."Kau tidak apa-apa?"
Marona hanya menggeleng. Pencuri dengan orang yang berlari tadi sudah jauh. Dia sempat melihatnya, orang-orang ikut membantu. Jadi, akan bahaya jika dia menghisap energi si pemilik warna kuning di sini.
Si pemilik warna kuning mendekatinya. Pemuda itu menunduk, karena memang tubuhnya jauh lebih tinggi dari Marona. Dia mencermati wajah Marona seksama, membuat Marona menjadi jengah dan akhirnya menunduk.
"Spertinya kau bukan penduduk desa ini."
Si pemilik warna kuning masih tak mengerjap. Marona tersentak, membulatkan matanya. Hanya si pemilik warna kuning yang peka akan kehadiran orang baru di desa itu.
"Aku ... aku sedang tersesat," sedikit terbata Marona menjawab.
"Darimana asalamu, Nona?"
Marona tersentak untuk kedua kali, tidak menyangka kalimat yang baru saja keluar dari mulut si pemilik warna kuning yang tengah menunduk, mencondongkan wajah ke arahnya membuatnya sedikit sulit menjawab. Marona tidak berani menatap, pemuda di depannya memiliki aura penghipnotis dalam mata teduhnya. Marona takut hanyut di dalamnya.
Dengan gerakan pelan dia mengangkat tangan, menunjuk hutan.
"Di balik hutan itu."Si pemilik warna kuning mengikuti arah telunjuk Marona, lantas menautkan alisnya.
"Bagaimana kau bisa tersesat di sini?"
"Aku mencari kayu bakar bersama ibuku. Aku buang air kecil di balik pohon besar, setelah keluar aku tidak mendapati ibuku di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]
Fanfiction"Ketika seseorang yang ingin aku lenyapkan membuat hatiku luluh." Seratus tahun terakhir, dan dia kembali. Ini adalah kesempatan terakhir untuk Marona. Menghisap energi satu pemilik warna yang tersisa. Red. Namun, hatinya bergejolak. Ketika mendapat...