2016
Ini pertamakalinya Marona berjalan sendiri di tengah kota, tanpa Bibi Marin yang biasanya hampir setiap waktu menemaninya kemana-mana. Suasana kota bukan hal baru baginya, tapi yang membuatnya berbeda adalah 'dia sendiri' sekarang tanpa tahu tujuan. Ralat, tujuannya mencari Red, tapi tidak tahu dimana Red tinggal.Dia sungguh ingin lebih lama bersama pemuda itu, sebelum memuaskan keinginan Bibi Marin. Melenyapkan , menghisap energi warna terakhir dan merasa puas. Membalas, atas apa yang pernah tetua mereka lakukan sehingga membuatnya tidak bisa bertemu dengan orangtuanya.
Sendiri, Marona menyusuri jalanan kota. Berbeda sekali dengan kehidupan ratusan tahun lalu. Suasana malam yang hanya diisi suara hewan-hewan, desauan angin yang menyelinap di sela dedaunan, suara ranting kering bergemeretak lalu jatuh. Sekarang, suara sepatu-sepatu atau sandal-sandal beradu dengan trotoar yang terdengar, dan ... beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Nyaris tidak ada tempat yang tak tersentuh manusia. Benar kata Bibi Marin, akan sulit menemukan tempat untuk melenyapkan si pemilik warna terakhir pada zaman ini.
Jika dulu, Marona mudah mendapatkan hutan sepi sebagai tempat melenyapkan pemilik warna. Orang-orang akan percaya bahwa pemuda hilang karena dimakan binatang buas. Namun, pada zaman ini mereka akan gencar mencari informasi dan membuatnya menjadi bahan tulisan dalam kabar berita. "SEORANG PEMUDA TIBA-TIBA MENGHILANG SECARA MISTERIUS." Kurang lebih seperti itu yang akan mereka tulis dalam surat kabar.
Marona sungguh tidak tahu apa yang direncanakan Bibi Marin tentang misi melenyapkan satu warna terakhir. Marona tidak ingin memikirkannya, yang dia ingin adalah memiliki waktu lebih lama bersama Red dengan nekat kabur dari rumah. Dia tahu Bibi Marin akan cepat menemukannya, tapi setidaknya dia ingin memiliki waktu itu. Sebentar saja.
"Bibi Marin ...." hati-hati Marona berucap, menyela makan malam.
"Hmm," timapal Bibi Marin, mulutnya masih dipenuhi makanan.
"Bisakah aku, bersamanya sebelum ...."
"TIDAK BISA, kau harus menunggu setelah umurnya 20 tahun, Nak," Bibi Marin segera memotong, tahu apa yang akan Marona katakana setelahnya.
Marona menunduk, menyesal. Dia sudah tahu, usulannya akan mendapat penolakan mentah dari Bibi Marin.
"Bagaimana aku akan tahu umurnya, sedangkan aku hanya diam di rumah."
"Aku sudah mengurusnya. Kau hanya bertindak jika waktunya sudah tepat."
"Tapi ...."
"TETAP TIDAK BOLEH, jangan sampai kejadian seratus tahun lalu terulang. Jika dia melihat kalungmu yang menyala, dia akan ingat segalanya."
Marona masih berjalan, setelah sekelebat perdebatan di meja makan tadi dengan Bibi Marin kembali diputar otaknya.
Udara dingin, Marona diam sejenak di bangku pinggir jalan-dekat taman kota. Banyak orang berlalu-lalang, banyak suara.
"Hei!" Sudah beberapa kali Marona mendengar suara itu. Sepertinya keluar dari mulut yang sama sehingga mengundang lehernya bergerak-celingukan mencari sumber suara.
"Hei!" Sekali lagi Marona mendengarnya, sedikit lebih jelas hingga dia menemukannya. Seorang dengan rambut hitam berponi tengah menyeberang. Seperti menghampirinya.
"Hei kau yang duduk di bangku."
Marona tertohok, matanya melotot nyaris keluar. Diakah orang yang dimaksud orang itu. Seorang pemuda yang semakin mendekat, dekat ... dan kini sudah sampai di hadapannya, bahkan ketika dia belum menyelesaikan dugaannya.Marona menatap pemuda itu, menyelidik. Dari ujung sepatu hitam hingga rambut hitam berponi. Tidak lupa dengan hidung lancip itu.
"Benarkah yang berdiri di depanku ini adalah dia? Kenapa dia bersikap seolah-olah dia mengenalku," Marona membatin, lalu membiarkan pertanyaan-pertanyaannya tadi menguap dan memilih menanyakan hal lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]
Fanfiction"Ketika seseorang yang ingin aku lenyapkan membuat hatiku luluh." Seratus tahun terakhir, dan dia kembali. Ini adalah kesempatan terakhir untuk Marona. Menghisap energi satu pemilik warna yang tersisa. Red. Namun, hatinya bergejolak. Ketika mendapat...