Kembali

195 25 19
                                    


Tahun 2016

Musik pop mengalun di sudut kota, pasar terbuka sedang berlangsung hari ini. Tujuh orang pemuda menari, mengikuti alunan lagu yang dinyanyikan. Orang-orang bergumul, melambai-lambaikan kedua tangan lalu mengikuti lirik yang dinyanyikan tujuh orang di atas panggung. Sebagian lagi, bersorak. Berteriak histeris. Beberapa membawa spanduk bergambar, serta tulisan-tulisan dengan tanda hati.

Marona berada di belakang kerumunan orang-orang itu. Wanita yang belum genap 20 tahun yang juga ternyata ikut tertarik dengan tujuh pemuda di atas panggung. Dia sedikit berjinjit, menjenjangkan leher. Matanya berkeliaran, melihat penampilan di atas panggung.

"Mungkinkah itu mereka, apa salah satu di antara mereka adalah dia?"

Lagu yang dinyanyikan tujuh pemuda di atas panggung seakan menariknya kembali ke masa itu. Dimana dia menjadi seorang pemangsa. Seratus tahun berlalu, kenangan itu kembali terputar dalam otaknya. Masih tersusun rapi, satu pun tak terkecuali. Dia masih mengingat jelas.

"Kau sudah selesai, Nak?"

Kontan, Marona berbalik mendengar suara yang sangat dikenalnya. "Iya, Bi."

Bibi Marin, seroang yang menjaga dan merawatnya sejak kecil. Wanita setengah abad yang masih terlihat segar. Bibir tersapu lipstik merah, bodi yang masih ramping. Rambut disanggul rapi, tetapi sama sekali tidak memerlihatkan kesan tua.

"Ayo kita pulang."

Bibi Marin menggenggam tangannya, Marona meliukkan lehernya sekali lagi. Melihat panggung tujuh pemuda yang berangsur menuruni panggung. Sepertinya akan istirahat.
Bibi Marin mengikuti arah matanya. Ada sesuatu yang tersirat di sana. Bibi Marin segera bergegas menarik tangan Marona.

"Ayo cepat, kita akan segera memasak."

Sepanjang jalan, Marona terus saja memikirkan tentang tujuh pemuda itu. Pemuda bernama Red, dia sungguh merindukan pemuda di masa lalunya. Hujan di cuaca panas yang dia rindukan, bersama salah satu warna pelanginya. Di pinggir sungai menjadi tempat favorit mereka dulu. Red kerap bernyanyi untuknya.

"Bi, bisakah aku kembali sebentar?" Marona hati-hati berucap, meminta izin untuk kembali, sebentar. Hanya untuk memastikan.
Dia tahu Bibi Marin akan marah jika dia membangkang. Namun, marah yang sama sekali tidak melunturkan rasa sayang pada Marona. Itu sebabnya dia sangat menghormati Bibi Marin.

"Tidak boleh!"

"Hanya ke toilet."

Bibi Marin menghela nafas berat, melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan Marona. Dia mengangguk dengan mata yang mengintimidasi. "Cepatlah kembali."
Marona mengangguk mengerti.

Dia berlari menuju tempat pentas tadi. Orang-orang sudah mulai sepi. Para kru sudah membereskan panggung. Matanya menyapu sekitar, berlari kesana-kemari. Mencari. Tidak ada, dia terlihat linglung. Beberapa orang bertanya, dia tidak menggubris. Karena tidak fokus dia menubruk tubuh seseorang. Sepatu putih tampak tersiram cairan, menyisakan bercak cokelat. Pelan-pelan dia mendongak, seorang lelaki berambut pirang. Tangan kanannya menggenggam gelas plastik, susu cokelat dengan asap yang masih mengepul tinggal setengah.

Marona hendak berjongkok, lelaki itu dengan sigap menahannya.

"Maaf." Marona menunduk, menyesali kesalahannya.

"Terlihat bagus dengan bercak cokelat."

Sontak Marona mendongak, lelaki itu tersenyum. Mata lelaki itu nyaris segaris.

"Kadang aku selalu bosan memakai sepatu polos," lelaki berambut pirang itu melanjutkan kalimatnya. Marona tetap diam.

"Gyu," ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangannya. Mengajak kenalan. Sejenak Marona melihat tangan lelaki berambut pirang itu sebelum akhirnya teriakan Bibi Marin membuatnya terlonjak lantas segera pergi. Sebelum itu, dia menunduk untuk kedua kali. "Sekali lagi, aku meminta maaf."

Marona lekas berlari, Bibi Marin tampak gusar.

"Kau kemana saja, hah? Ke toilet lama sekali. Jangan bilang kau bertemu pemuda di atas panggung itu."
Bibi Marin menghujaninya dengan beberapa kalimat. Sepertinya Bibi Marin menyadari bahwa Marona begitu tertarik dengan tujuh pemuda itu.

"Aku hanya penasaran."
Marona menunduk. Bibi Marin menghela nafas berat, meredam amarah. Kemudian menggenggam tangan Marona.

"Belum saatnya, Nak, kau harus bersabar. Biarkan aku yang mengurus semuanya. Tinggal nanti kau yang bertindak."

Sepertinya Bibi Marin tidak ingin bertindak gegabah lagi seperti seratus tahun yang lalu. Dimana semua rencana yang sudah tersusun rapi gagal karena sebuah perasaan. Kali ini, pada kesempatan terakhir dia harus berhasil.

Bibi Marin terpaksa mengurung Marona di dalam kamar.

"Ingat, Nak, jika si pemilik warna utuh memegang tanganmu dan melihat kalungmu bersinar. Dia akan langsung tahu siapa dirimu. Kita tidak boleh gagal kali ini."

Marona hanya menunduk pasrah mendengar pesan Bibi Marin, pesan yang bahkan hampir setiap hari menyapa telinganya. Dia menunduk, memainkan kalung bermata Kristal bening, memutarnya lalu menyala. Dari keenam warna pelangi, hanya warna merah yang tidak ada di sana.

"Red, aku sungguh merindukanmu."

*

Di tempat lain. Gyu nyaris tidak pernah melepas pandang dari sepatu dan dompet yang dipegangnya. Dengan posisi tiduran di atas sofa. Tangan kanannya memegang dompet terbuka berwarna merah, sedangkan tangan kiri memegang sepatu putih dengan bercak cokelat. Dompet itu ditemukannya tadi pagi saat gadis mungil itu menubruk tubuhnya.

"Cantik," Gyu menggumam dengan mata menerawang. Ucapannya tak sengaja didengar seorang lelaki yang melintas di dekatnya.

"Eh?" Lelaki dengan rambut hitam berponi mendekat. "Apa kau baru saja mengataiku cantik?" lelaki itu berteriak membuat buyar khayalan Gyu.

"Aih, apa-apaan, sih. Gadisku lari gara-gara teriakanmu!" Gyu tersirap, meletakkan sepatu dan dompet merah yang masih terbuka di atas meja.

"Gadis? Apa dia calon kakak iparku?" Lelaki berambut hitam mempertegas lantas menggoda.
Gyu mendadak kikuk sementara lelaki berambut hitam sigap dan meraih dompet merah itu.

"Ouw, dia manis. Bola matanya berbinar, jernih."

"Kembalikan padaku." Gyu merebut dompet itu dari tangan lelaki berambut hitam. "Dasar kau, Hyun!" Gyu mendumel kepada lelaki berambut hitam bernama Hyun.
Hyun menepuk-nepuk pundak Gyu, lalu berkata, "Kau tidak usah kikuk seperti itu, Kak." Hyun menepuk dadanya membanggakan diri. "Serahkan semuanya padaku, aku akan membantumu bagaimana cara menaklukan hati gadis."

Gyu mulai meradang. "Kau ...." ucapannya tercekat. Telunjuk Hyun yang mendarat di bibirnya mendahului ucapannya.
"Ssst, kau jangan sungkan, Kak. Aku membantumu dengan senang hati. Tapi, malam ini aku harus pergi."
Hyun melenggang meninggalkan Gyu yang kesal.

"Dasar bocah, dia bahkan belum pernah merasakan ciuman pertama," Gyu mendumel. Meski dia pun tidak pernah tahu pasti tentang sosok seseorang yang pernah menciumnya. Setidaknya dia merasa lebih berpengalaman. Mimpi ataupun khayalan, itu terasa nyata. Dan wanita yang ditemuinya di pusat perbelanjaan terbuka membuatnya merasa déjà vu. Tatapan itu, seperti pernah dia lihat sebelumnya.

Mimpi-mimpi dan bayangan-bayangan yang selama ini mengusiknya. Akankah itu sudah benar-benar dia alami sebelumnya? Apakah wanita itu adalah wanita yang selama ini ikut andil dalam bayang-bayang serta mimpi-mimpinya?

Bersambung...

MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang