Perang Akan Segera Berlangsung

43 14 6
                                    

Pesta sudah usai, Hyun mengumpulkan teman-temannya. Yeol terlebih dahulu mengantar Yeri pulang sebelum akhirnya ikut bergabung.

Mereka sudah pasti sangat terkejut mendengar kebenaran yang disampaikan Hyun.

"Aku sebenarnya juga sudah tahu." Gyu yang lebih dahulu merespon disusul dengan Yeol, "Pantas saja aku mersasa tidak asing dengan wajahnya."
"Akhirnya aku tahu siapa yang pernah menciumku. Firasat itu sebenarnya sudah lama menggangguku," Woo menyambut, Won mengangguk setuju dengan ucapa Woo.

"Bahkan aku pun memiliki firasat yang sama. Selama ini aku diam." Jong yang terkanal polos akhirnya membuka rahasianya. Soo juga mengakui bahwa dia juga memiliki firasat yang sama. Dan sekarang akhirnya mereka tahu jawaban dari firasat mereka masing- masing.

"Semuanya bermula ketika aku mendengar pemibacaraan Gyu dengan seorang Bibi," Hyun memulai ceritanya.

-Tahun 1916-
"Kau akan berakhir di dalam lubang ini, Nona." Violet dengan senyum tipisnya, berambisi. Setelah perangkap lubang yang dia buat selesai. Hyun masih menilik dari pohon besar. Masih bertanya untuk apa Violet membuat lubang.

"Tanpa kau melenyapkannya, dia akan lenyap sendiri. Hahahaha."
Hyun dapat mendengar kalimat menggelegar yang datang entah darimana.

Dia melihat Violet mulai meliukkan lehernya ke segala arah, matanya menyapu sekitar. Tidak ada siapa pun. Hanya daun-daun pohon yang sudah mulai bangun, hewan- hewan udara yang sudah mulai mengangkasa.

"Keluar kau!"

"Aku di belakangmu, anak muda."

Untuk sesaat Violet bergeming, suara wanita itu kali ini terdengar nyata. Dia berbalik, mendapati seorang wanita setengah abad berdiri di depannya dengan senyum miris.

Red menonton kajadian waktu itu.
"Siapa kau!" seru Violet sembari mengambil ancang-ancangan waspada, sewaktu- waktu mendapat serangan dari wanita di depannya. Wanita itu tersenyum tipis, seolah mengatakan, "Kau sudah tahu, meski aku tidak memberitahumu."

Awalnya Red ingin keluar dari persembunyiannya. Namun urung, dia lebih memilih mendengar cerita itu lebih lanjut. Dia merasa Violet cukup tangkas melawan Bibi itu jika sewaktu-waktu akan menyerang.

"Apa maksudmu dia akan lenyap, hah?"

"Dia akan lenyap sendiri, tanpa kau melenyapkannya," tutur wanita setengah abad itu, memulai ceritanya.

Red mengernyit heran, rasa penasarannya meradang.

"Ketika seluruh warna sudah terkumpul, aku akan menyerapnya. Dia lenyap, dan aku akan mendapatkan kekuatan abadiku. Aku akan menjadi penguasa. Hahahahaha."

Red dapat melihat, emosi Violet meradang saat itu.

"Kau ...." Violet mengepalkan tangannya kuat, urat-uratnya menyembul keluar. Tersirat kemarahan yang teramat di matanya. Tak sabar ingin melayangkan tinju ke arah wanita setengah abad di depan.

"Hari ini kau, adikmu, dan dia akan lenyap anak muda, hahahahahha."

Setelah mengetahui itu, Red segera berlari. Sebelum Marona datang dan menghisap energinya. Dia tidak bisa menyelamatkan Violet, tapi setidaknya dia bisa melindungi satu orang.

Pinggir jurang menjadi perhentiannya. Sewaktu tubuhnya melayang, suara Marona ditangkapnya jelas. Meneriaki namanya.

"Aku benar-benar menyesal telah melakukan hal bodoh dulu."
Hyun selesai bercerita, penyesalan tersirat dalam matanya. Dia menunduk.

"Bahkan tanpa memikirkan bagaimana Bibi itu akan memerlakukan Marona. Dia mungkin saja tidak lenyap karena tidak berhasil mengumpulkan warna, bisa saja Bibi itu yang melenyapkannya dengan tangannya sendiri," lanjutnya dengan suara sedikit tinggi.
Gyu menghampirinya, memegang pundaknya. Yang lain menatap simpati.

"Aku bodoh, seharusnya aku lebih cerdik bagaimana bisa melawannya dulu."
Hyun menggeleng, merutuki dirinya sendiri.

"Lupakan masal lalu, ingat tentang kesempatan di zaman ini untuk melawan dia."
Gyu menyemangati, yang lain mendekat ikut memberi semangat.

"Kita akan bekerja sama."

"Tapi, bagaimana ini bisa kebetulan. Tujuh warna pelangi itu adalah kita?'' Jong bertanya penasaran. Hyun menjawab itu karena Marona memiliki harapan dulu, saat hendak menghisap energi agar mereka berada di tempat yang sama di masa depan.

"Tapi bukankah energi kita sudah di serap?" Won kali ini yang bertanya.
Hyun menggeleng. "Dia hanya menyerap sebagian dari energi kalian, itu sebabnya kalian bisa kembali di masa ini dengan energi yang hanya sebagian. Itu cukup untuk melawan Bibi Marin jika kita menggalinya."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Soo bertanya, menyambung pertanyaan-pertanyaan teman-temannya tadi. "Dan ... dimana wanita itu?"

Hyun menarik nafas dalam, sebelum menceritakan semuanya. Semua petunjuk yang dia temukan saat mengendap dia menceritakannya. Yang lain mengangguk mengerti.

"Bagaimana kau bisa yakin dia tidak akan melakukan hal bodoh sepertimu."

"Aku sudah mengaturnya." Gyu kali ini yang bersuara, sambil tersenyum menyeringai.

***

Malam semakin larut. Setelah turun dari bus, Marona kembali berjalan menyusuri jalanan yang mulai sepi. Hyun menyuruhnya pergi sejauh mungkin. Cara menemukan tempat paling jauh yang ada dalam pikirannya adalah dengan cara lenyap. Tidak akan ada orang yang akan menemuinya. Bibi Marin tidak akan membuatnya tidak terkendali yang harus membuatnya melenyapkan pemuda tak bersalah.

"Hyun, maafkan aku melakukan hal bodoh ini."

Dia berdiri di pinggir-pagar pembatas-jembatan, tanpa menyeka air yang merembes di pipinya.

Baru saja hendak mengangkat kakinya untuk naik di atas pagar pembatas, seseorang mencekal pergelangan tangannya. Dia terlonjak, lantas berbalik.

"Kau?"

"Kau harus percaya pada mereka. Mereka akan melindungimu."

"Apa yang membuatmu ke sini? Darimana kau tahu aku di sini."

Tanpa menggubris ucapan seorang itu. Marona menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Kau harus percaya pada mereka." Seorang itu mengulang kalimatnya.

Marona mengalihkan pandangannya pada pergelangan tanganya yang dicekal kuat.

"Lepaskan aku."

"Kau harus percaya pada mereka." Lagi, seorang itu mengulang. Sepertinya Marona luluh. Dia mau mendengarkan.

"Beritahu aku bagaimana kau bisa mengetahui semuanya."

Seorang itu mengatupkan kedua matanya, sedetik.

Mereka saling bertatapan, tajam. Seolah ingin saling menikam.

Perlahan seorang itu melepaskan tangannya dari pergelangan Marona. Kemudian merangkul Marona. Udara di luar sangat dingin, malam semakin larut.

"Sebaiknya kita bicara dalam perjalanan, mobilku terparkir di sana."
Seorang itu menunjuk, Marona mengikuti arah tatapan seorang itu dan mengangguk setuju.

Mobil melaju, menerjang udara dingin. Di perkotaan, masih ada beberapa mobil berlalu-lalang. Mereka tenggelam dalam perbincangan tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Bersambung...

MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang