Merah dan ungu, dua warna terakhir yang harus Marona lenyapkan. Merah yang memiliki cinta murni dan ungu sang pemimpin yang kuat. Marona harus berhati-hati dengan kedua warna itu.
Hutan yang dilewati cukup lebat. Pohon-pohon berdiri kokoh, jarang tersentuh tangan manusia. Rumor mengatakan hutan itu adalah hutan angker. Bibi Marin membantah, dia mengatakan itu adalah sebuah mitos belaka. Bibi Marin adalah satu-satunya orang yang dia percaya, tidak ada alasan baginya untuk tidak memercayai setiap ucapan Bibi Marin. Karena semenjak dibuang ke desa terpencil, satu-satunya yang dapat dia percaya untuk pertama kalinya adalah Bibi Marin.
Raja siang sudah hendak beristirahat, jaraknya dengan si pemilik warna sudah mulai dekat. Aura si pemilik warna sudah mulai dia rasakan. Lamat-lamat dia mendengar, suara merdu dari tempat yang sepertinya lumayan dekat dengan tempatnya saat ini.
Marona memulai step pertama aksi pengelabuan. Otaknya berputar dua kali lipat memikirkan apa yang harus dia lakukan. Dia membaluri sekujur tubuhnya dengan tanah, tidak lupa dengan wajahnya. Rambut diacak-acak, beberapa goresan di lengan hasil cakaran kukunya sendiri. Dia mulai berjalan terpogoh-pogoh menuju sumber suara. Sebelumnya dia menilik dari balik pohon besar. Sebuah gubuk kecil dari kayu, banyak tanaman di sekelilingnya. Dua orang pemuda duduk bersisian di atas kursi kayu. Menyanyikan lagu.
"Tuan, tolong ... tolong ...." Marona berlari terpogoh-pogoh mendekati kedua pemuda pemilik warna yang tengah asik bernyanyi, sembari memegangi lengannya yang terluka. Bekas cakaran kuku-kukunya sendiri.
"Tolong, Tuan," ucapnya lagi, membuat kedua pemuda itu bangkit dari duduk. Dua pemuda dengan perbedaan tinggi yang cukup kentara mendekati Marona. Pemuda dengan hidung lancip-lebih pendek-lebih dulu mendekat. "Apa yang membuatmu kemari, Nona?" tanya si pemuda hidung lancip itu. Matanya menyapu sekujur tubuh Marona yang terlihat lusuh, serta luka pada lengannya. Pemuda yang lebih tinggi ikut mengamati dari belakang. "Dan ... bagaimana kau bisa seperti ini?"
Nafas Marona masih tersengal, bola matanya berkeliaran tidak tenang. Dia melakukan lakonnya dengan baik.
"Hewan buas ingin memangsaku."
Ucapannya memancing keterkejutan si pemuda hidung lancip. Sebelum mengeluarkan ucapannya, si pemuda yang lebih tinggi akhirnya mengambil suara dengan nada yang terkesan dingin. Menyuruh Marona untuk mendekat ke gubuk. Agar lebih tenang, katanya.
"Biar kutumbuk tanaman obat untuk membalut lukamu. Red, jaga dia di sini." Masih dengan kalimat dingin dan tanpa ekspresi, tetapi berwibawa. Pemuda yang lebih tinggi dengan mata nyaris segaris masuk ke gubuk. Si pemuda hidung lancip-yang Maorna dengar memiliki nama Red-menemaninya di kursi kayu.
Pohon-pohon berdiri kokoh dengan daun-daun yang rindang. Marona mengamati sekitar. Seharusnya banyak daun-daun kering berserakan, rupanya hanya beberapa. Kedua pemuda itu sepertinya rajin membersihkan halaman sekitar gubuk. Si pemuda hidung lancip duduk di sampingnya, baru saja selesai membereskan serpihan-serpihan kayu. Sepertinya mereka baru saja selesai membuat sarung pisau-atau malah lebih terliahat seperti pedang- tergeletak di sampingnya.
Red, si pemuda hidung lancip mengubah posisi duduknya, menyerong ke arah Marona. Kemudian bertanya, "Darimana asalmu, Nona?" Sembari memerhatikan raut wajah Marona mulai terlihat rikuh. Dia diam, menunduk.
"Baiklah kalau kau tidak mau menjawab." Red menghela nafas, lalu mengubah lagi posisi duduknya. Menghadap ke depan-ke arah gubuk.
Marona masih menunduk. "Sebenarnya aku dibuang orangtuaku. Ditinggal ditengah hutan, sendiri."
Lagi-lagi Red mengubah posisinya, kali ini diiringi keterkejutan. "Bagaimana bisa orangtua bisa sekejam itu?" Red menggeleng miris. "Harusnya anak wanita harus dijaga, bukan ditinggal sendiri. Apalagi di tengah hutan," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]
Fanfiction"Ketika seseorang yang ingin aku lenyapkan membuat hatiku luluh." Seratus tahun terakhir, dan dia kembali. Ini adalah kesempatan terakhir untuk Marona. Menghisap energi satu pemilik warna yang tersisa. Red. Namun, hatinya bergejolak. Ketika mendapat...