Violet memanggul cangkul memasuki hutan rimbun. Cahaya matahari sudah mulai menerobos celah dedaunan. Kini tekadnya sudah bulat, akal bulus dari wanita yang menginap semalam sudah dia ketahui.Marona. Sebelumnya dia sudah curiga, tentang bekas luka di lengan wanita itu. Tidak seperti kuku hewan, maupun ranting. Dugaannya semakin dikuatkan kuku panjang Marona yang terlihat noda darah. Violet menyimpulkan, wanita itu mencakar lengannya sendiri.
Dia mulai mengayunkan cangkulnya, membuat lubang. Cukup dalam. Sebagai perangkap wanita yang sudah memiliki niat buruk padanya. Tadi malam Violet mendengar semuanya, ketika Marona melakukan percakapan melalui ilmu telepati dengan seseorang. Untuk berjaga-jaga, Violet sengaja menyuruh Red untuk pergi ke seberang danau. Biarlah Red yang selamat terlebih dahulu.
Sementara dia mencangkul, dia menyuruh Marona menyusul setelah membersihkan gubuk dan pekarangan gubuk."Kau akan berakhir di dalam lubang ini, Nona," ucap Violet dengan senyum tipisnya, berambisi. Setelah perangkap lubang yang dia buat selesai. Dia akan mendorong wanita itu, lalu menguburrnya. Namun, tiba-tiba entah datang dari mana. Suara seorang wanita menggema di sekitarnya.
"Tanpa kau melenyapkannya, dia akan lenyap sendiri. Hahahaha."
Violet meliukkan lehernya ke segala arah, matanya menyapu sekitar. Tidak ada siapa pun. Hanya daun-daun pohon yang sudah mulai bangun, hewan-hewan udara yang sudah mulai mengangkasa yang dilihat.
"Keluar kau!"
"Aku di belakangmu anak muda."
Untuk sesaat Violet bergeming, suara wanita itu kali ini terdengar nyata. Dia berbalik, mendapati seorang wanita setengah abad berdiri di depannya dengan senyum miris.
"Siapa kau!" seru Violet sembari mengambil ancang-ancangan waspada, sewaktu- waktu mendapat serangan dari wanita di depannya. Wanita itu tersenyum tipis, seolah mengatakan, "Kau sudah tahu, meski aku tidak memberitahumu."
"Apa maksudmu dia akan lenyap, hah?"
"Dia akan lenyap sendiri, tanpa kau melenyapkannya," tutur wanita setengah abad itu, memulai ceritanya. Membuat violet meradang ketika tahu yang sebenarnya.
"Kau ...." Violet mengepalkan tangannya kuat, urat-uratnya menyembul keluar. Tersirat kemarahan di matanya. Tak sabar ingin melayangkan tinju ke arah wanita setengah abad di depan.
"Hari ini kau, adikmu, dan dia akan lenyap anak muda, hahahahahha."
Suara wanita setengah abad menggelegar, menguasai hutan. Burung-burung yang tadinya hinggap di dahan, berhamburan.
"Dia tidak akan melenyapkan orang yang sudah berbuat baik padanya," Violet berucap, percaya diri. Dia berlari dengan amarah yang semakin meradang. Melayangkan satu pukulan yang berhasil ditangkis wanita itu. Membuat Violet terjungkal, menggelepar. Amarahnya kian tersulut, Violet kembali berdiri. Kali ini dia berhasil mencengkram leher wanita itu. "Kau yang akan lenyap di tanganku."
Wanita itu tidak melawan sedikit pun, malah tersenyum tipis. "Dia tidak akan tinggal diam melihat satu-satunya orang yang peduli padanya untuk pertama kali, disakiti seperti ini," ucap wanita itu, sedikit tercekat karena leher yang masih dicengkram. Kuat dan semakin kuat.
"Lepaskan Bibi Marin!"
Setengah berlari, Marona dengan mata menyala mendekati Violet yang saat itu sudah melepaskan cengkramannnya pada leher Bibi Marin."Ini tidak seperti yang kau lihat." Violet menggeleng, berusaha menjelaskan. Nihil, Marona tidak mau mendengar apa-apa lagi. Bibi Marin sudah terkulai lemah atau-pura-pura lemah.
"Kau ... harus segera melenyapkannya, Nak." Entah sejak kapan, Bibi Marin berdiri menggamit kedua lengan Violet hingga pemuda itu tidak leluasa bergerak. Marona terus mendekat, sedangkan Violet terus menggeleng-menyiratkan bahwa dia memang tidak bersalah. Sekelebat bayangan seratus tahun lalu kembali mengusik Marona, membuat emosinya meradang.
"Aku juga seperti ini, membela diri. Mereka mengabaikanku. Mereka melenyapkanku."
Tanpa ragu, bibir Marona berhasil mendarat di bibir Violet. Menyerap energi. Tubuh Violet melemah dan akhirnya lenyap. Ekor-ekor warna-warni Marona tumbuh beberapa detik kemudian hilang lagi. Tersisa warna merah, Marona segera menuju ke tempat Red. Bibi Marin tersenyum puas. "Kau begitu berambisi, Nak."
***
"Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa melindungimu, Rona," lirih Red. Di pinggir jurang. Dia melongok, jurang cukup dalam. Cukup membuatnya menghilang selama-lamanya.
Mengingat apa yang baru saja dia dengar dari percakapan Violet dan wanita setengah abad di tengah hutan.
"Tanpa kau melenyapkannya, dia akan lenyap sendiri."
Membuatnya membulatkan tekad untuk berkorban agar Marona tidak lenyap.
Satu langkah. Red manrik nafas dalam lalu mengeluarkannya perlahan, hanya untuk memastikan dirinya akan benar-benar terjun. Tepat, ketika tubuhnya mulai terjun. Marona datang, meneriaki namanya. Red memejamkan matanya. "Maaf, hiduplah dengan tenang."
Marona berlutut di pinggir jurang, tubuh Red sudah tidak terlihat. Matanya memanas, air matanya merembes diikuti ekor-ekornya bermunculan. Dia mencintai Red, sungguh. Dia tidak akan melenyapkan Red. Dia akan melakukan perlawanan pada Bibi Marin.
"Red," desahnya. Tanpa sadar Bibi Marin mendekat. "Kau harus menunggu seratus tahun lagi, Nak. Ini kesempatan terakhir."
Bibi Marin melayangkan pedang, menebas ekor Marona. Tempayan kecil masih dalam genggaman Bibi Marin. Dia akan menyiram tubuh Marona di seratus tahun terakhir.
"Istirahatlah, masa depan akan berat."Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]
Fanfiction"Ketika seseorang yang ingin aku lenyapkan membuat hatiku luluh." Seratus tahun terakhir, dan dia kembali. Ini adalah kesempatan terakhir untuk Marona. Menghisap energi satu pemilik warna yang tersisa. Red. Namun, hatinya bergejolak. Ketika mendapat...