Ekor Marona

39 15 5
                                    

​Lima belas tahun, Marona menjadi anak normal yang cantik jelita. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan membawa kekacauan di kota. Membuat kota gelap. Namun itu baru lima belas tahun, ramalan sesungguhnya adalah ketika dia berumur dua puluh tahun.
​Para rakyat sudah mendesak keluarga terpandang di tengah kota itu untuk segera mengasingkan putrinya ke desa terpencil. Ibu mana yang rela mengasingkan anaknya, membuat anaknya jauh tinggal sendirian di desa terpencil. Miranda menolak keras untuk membuat anaknya jauh darinya, tapi semakin banyak desakan yang menikam keluarganya. Gandi berusaha membujuk.

​"Dia akan baik-baik saja di sana, dan kota akan baik-baik juga."

​"Bagaimana bisa kau mengatakan dia akan baik-baik saja?" Dia menatap suaminya sarkatik, matanya memerah. Bekas air matanya mulai mengering di pipi.
​Gandi meraih tubuh istrinya, mendekapnya. Menenangkan.
​"Percayalah dia akan baik-baik saja, sayang."
​Miranda terisak di dalam dekapan Gandi yang kian erat.

​Hari itu, matahari beringsut tenggelam di peristirahatannya. Langit mulai memancarkan semburat oranye. Marona berjalan diiringi para pengawal menembus hutan untuk menemukan desa terpencil. Dia akan baik-baik saja, dia memegang ucapan ayahnya. Dia harus jadi tangguh di sana.
​Sesekali dia menyesap air matanya, mengingat ibu yang beberapa saat lalu melepas kepergiannya dengan isakan. Di hadapan ibunya, dia berusaha tegar menyembunyikan air matanya. Namun di pertengahan jalan, sudah tidak bisa dia bendung lagi. Sepuasnya, dia membiarkannya jatuh. Daun-daun kering dan ranting yang menutupi tanah menerimanya dengan sukarela. Mereka basah.

​Tidak ada percakapan sepanjang jalan. Para pengawal sungkan untuk mengajak bicara putri pemimpinnya. Marona pun enggan, lebih sibuk dengan pikiran-pikirannya tentang ayah, ibu, kakek dan kotanya.

​"Sudah sampai putri."
​Itu kalimat pertama yang terdengar ketika sudah sampai di bibir desa. Marona mendongak. Di depannya, beberapa gubuk kecil berbaris. Salah satu pengawal menunjukkan padanya salah satu gubuk yang akan dia tinggali.

​Kehidupan baru di desa terpencil. Berita tentang ramalan ternyata sudah tersebar luas, Marona tidak baik-baik saja di sana. Orang-orang mengucilkannya, dia tumbuh menjadi Marona pemurung. Pinggiran sungai lengang menjadi tempat favoritnya, menghabiskan waktu. Sendiri.

​"Apa yang kau lakukan di sini sendiri, nak?"
​Suara lembut menyapa telinganya, dia yang sedang duduk meringkuk di atas batu besar meliukkan leher-mendongak ke arah seorang yang baru saja bersuara.

​"Kau tampak sedih," ucap seorang itu melanjutkan, tanpa menunggu tanggapan Marona atas pertanyaan pertamanya. Seorang itu ikut bergabung, duduk di sebelah. Marona kembali menatap aliran sungai jernih di depannya.

​"Kau tahu? Tidak akan ada pelangi jika kau mengeluarkan air mata dalam keadaan sedih."
​Marona bergeming. Menyarap kalimat yang baru saja dia dengar, tapi masih enggan untuk menoleh.

​"Hanya gelap. Tak ada warna pelangi."
​Sepertinya Marona cukup tertarik dengan kalimat yang baru saja dia dengar. Akhirnya dia menoleh. Sebelumnya menyeka air mata.

​"Mengeluarkan air mata itu tandanya kau sedang sedih."
​Seorang itu tersenyum. "Kau belum tahu, mengeluarkan air mata juga terjadi saat kau sedang bahagia. Terlalu bahagia."

​Marona memiringkan kepalanya, seolah bertanya bagaimana rasanya terlalu bahagia sampai kau ingin mengeluarkan air mata. Bibi Marin menjawab, "Kutukan itu bisa hilang, di umur dua puluh tahun kau tidak akan berubah menjadi buruk." Dia mengalihkan topik pembicaraan membuat Marona menautkan alisnya bingung.

​"Jadi kau sudah tahu siapa aku?"

​"Tidak ada orang yang tidak mengenalmu di sini. Rumor sudah tersebar."

MARONA (Rainbow Tails) [REPUB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang