11. Waktu Bersama

371 68 6
                                    

🐾☘

"Rin, sini!" Pemuda jangkung itu melambaikan tangannya. Berharap yang sedang serius memilah dan memilih bunga-bunga hidup di ujung sana segera datang.

Mata pemuda itu berbinar, seakan penuh kebahagiaan. Terlebih saat yang dinanti akhirnya mendekat jua. Ya, pemuda ini memang tidak pandai dalam menyembunyikan perasaannya.

"Cantik, Rin." ucapnya.

"Hah? Siapa?"

"Sonaya Erdhina." batin pemuda itu. "Ini nih, bunga-nya yang ini, Rin." jawab Galang sambil menunjuk ke arah pot bunga yang berjejer di hadapan mereka.

Galang kembali beranjak. Ber-alasan kalau di tempat yang tadi banyak nyamuk. Padahal aslinya mah, Galang hanya ingin menutupi wajahnya yang kini pasti sedang memerah malu. Dih, salah sendiri ngebayangin yang aneh-aneh.

Bukan aneh sih, lebih tepatnya memang kenyataan. Kalau Erin itu cantik. Secantik itu sampai Galang suka lupa diri. Lupa status kalau selama ini Erin cuma menganggapnya teman, tidak lebih.

Setelah tadi di sekolah pas pelajaran olahraga, mainnya bulutangkis beneran, Erin ngerasa capek jiwa dan raga. Cewek itu akhirnya menepi dan memilih untuk beristirahat sejenak sebelum kembali menyelesaikan tugas yang diamanahkan Ibunda tercinta. Erin mendudukkan dirinya pada sebuah bangku panjang di areal kebun bunga itu.

"Mama lo pesen bunga yang kaya gimana sih, Rin?" tanya Galang sambil duduk di dekatnya.

"Maunya sih, anggrek. Tapi karena gue merasa koleksi anggrek Mama tuh udah banyak buangett, makanya ini gue lagi nyari bunga lain yang juga gak kalah cantik."

Galang dan Erin emang deket sedari dulu. Tetangga rasa sodara. Temen rasa... Oke, simpan saja dulu.

"Kira kira, yang bagus apaan nih?" tanya Erin sambil kembali mencuri-curi pandang.

"Kesana dulu deh coba-" Galang menunjuk ke arah lain.

Kebun sekaligus toko bunga ini emang cukup luas. Dan kebetulan juga, punya keluarganya Ellia. Temen sekelas mereka berdua juga.

"Apa gue beliin dua aja ya, Lang? Satu anggrek, satu yang baru-"

Galang mengangguk. "Gue setuju-"

Padahal hari ini, Galang sempat mengiyakan tawaran bertanding dengan kompleks sebelah. Iya, pergaulan Galang emang gak tanggung-tanggung apalagi kalau menyangkut soal futsal dan basket.

Beberapa kali Galang merasakan getar ponsel merambat dari saku celana seragamnya. Sebenarnya pemuda itu sudah bulat untuk tidak membuka notifikasi, tapi karena makin lama risih juga, akhirnya pemuda itu menyerah.

"Siapa sih, anjir-" umpatnya pelan sambil merogoh saku.

Ternyata, isinya pesan-pesan dari Bagas. Ada juga beberapa dari Reno dan Fajar. Oh, nggak heran sih, emang punggawa timnas Perum Pandawa.

"HE BANGSUL LO DIMANE ANJIR KATANYA MAU TANDING SAMA ANAK MANDALA!!!"

Suara nyaring Bagas langsung membuat Galang menjauhkan layar ponsel dari telinganya. Pemuda itu bahkan harus berjingkat kecil karena saking terkejutnya. Erin yang berada agak jauh juga sampai mendengar. Bisa dibayangkan betapa nyolotnya Bagas, dong.

"Bilangin sama Ega, besok aja. Sekarang gue gabisa.."

"EEEEEEㅡ"

Galang mematikan sambungan telepon. Kemudian menghampiri Erin yang kembali serius memilih bunga terindah di antara sekian banyak bunga hidup yang dijual di sana.

#4 Kota, Kita, dan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang