Sudah hampir menempuh lima hari Alira dan Attar latihan untuk festival dalam hitungan hari lagi. Bukan hanya berdua, Safin dan ketiga sahabat Attar-pun ikut meramaikan. Biarpun ramai, Alira dan Attar tetap fokus pada latihan mereka.
Banyak komentar dari para penyaksi, termasuk Dema yang selalu berhasil menghentikan alunan musik Attar. Cowok itu berkomentar sepedas-pedasnya, walaupun komentar itu ditujukan kepada Deral. Contohnya ; 'Stop-stop! Kurang, pas, nih! Ral, lo bisa ajarin gak sih? Oiya, lo kan gak bisa main musik!' atau 'Stop, deh, stop, gue gak bisa konsen nih dengerin kalian nyanyi, kalau ada Deral suara cicak kejepit gerbang sekolah disebelah gue!'.
Komentar-komentar seperti itulah yang membuat mereka tertawa terbahak. Sedangkan, Deral yang menjadi sasaran empuk Dema tidak tinggal diam. Ia juga membalas Dema dengan mengusik Safin sebagai bahannya. Contohnya ; 'Saf, kalau ketemu cowok kaya Dema lo mau gak? Gak usah deh, muka kaya kerak nasi gini gak perlu dipacarin!' atau, mungkin seperti ini, 'Dem, Dem, lo minggirin dikitlah, ganggu pemandangan aja lo.' yang dibalas Dema dengan 'sadar diri ogeb!'. Begitulah seterusnya sampai Bi Ina datang membawa makanan kesukaan Dema.
Dema langsung mencuri piring yang baru saja tiba itu, membawanya langsung kesudut ruangan agar tidak dapat dicomot oleh kedua sahabatnya. Kalau masalah tentang makanan, Dema juara pelitnya! Deral dan Retno harus berlari-lari mengejar piring putih ditangan Dema.
"Aduh, Bibi masih banyak lagi di dapur," ucap Bi Ina berusaha memisahkan ketiga orang tidak jelas itu. Setelah mendengar itu, Dema segera memberi Deral dan Retno memegang piring yang isinya tinggal 2 kue kering buatan Bi Ina. Dengan buru-buru Dema lari kearah dapur.
"Padahal Bibi bohong," Bi Ina tertawa kencang disusul dengan suara tawa dari Safin dan Alira. Sedangkan Deral dan Retno tertawa namun tam bersuara hanya merasakan sakit diperutnya. Sepertinya otak Dema harus dirawat secara khusus oleh dokter profesional.
"Yasudah, Bibi kembali ke dapur dulu ya, semangat latihannya." Bi Ina mengangkat kakinya dari ruangan yang dipenuhi anak sekolahan itu.
Setelah keluar, Attar kembali kepada Alira, sedangkan Deral, Retno dan Safin kembali bercengkrama mengenai hal-hal terbaru disekolah.
"Lo, mau minum gak?" tanya Attar dengan sebuah gitar yang berada dipangkuannya.
"Gak, kak. Btw, yang aku nyanyi sendiri itu... aku gak akan berani kak." Alira tersenyum, namun tersenyum ragu.
Walaupun senyuman ragu itu terukir dibibir tipis Alira, mampu membuat jantung Attar memompa dua kali lebih cepat. Attarpun segera mengalihkan tatapannya, berupaya untuk menutup serangan jantungnya yang secara tiba-tiba dengan cara memetik senar gitar satu-persatu. Hingga akhirnya pintu kembali terbuka menampilkan sosok makhluk astral dengan wajah kece.
Wajah Dema tampak memberengut. Namun segera ia pamerkan gigi rapinya ketika Deral mengangkat ponsel untuk memfotonya. "Emang ya, jadi seleb itu selalu aja ada paparazi." Dema mengambil posisi disamping Safin. Membuat cewek itu sedikit bergeser.
Awalnya, sewaktu pertama kali teman-teman Attar tahu ruangan ini. Isinya hanya ada dua bangku saja yang memang sudah disediakan sebelumnya untuk Attar dan Alira. Tapi dengan kecerdasan yang luar biasa, Dema meminta agar piano besar yang berada ditengah ruangan digeser agak keujung, dan setelah itu mereka mengangkat sofa panjang dari lantai bawah kemudian menaruh sofa itu ditengah ruangan. Tidak lupa dengan meja hias yang menjadi pelengkap. Akhirnya, tempat itu kembali dihuni setelah beberapa lama tak ditempati. Dan, tempat ini menjadi salah satu tempat yang sangat cocok untuk berunding ataupun sekedar nongkrong, walaupun kamar Attar tetap nomor satu.
Ruangan inipun sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan, jadi tidak perlu lagi untuk membuka jendela. Kehidupan Attar berubah penuh saat dirinya menghadapi orang-orang baru. Misalnya, seperti; Alira.
"Guys! Guys! Gimana, setelah festival kita ke puncak? Kan, libur tuh!" usul Retno sebelum ia menyeruput susu stroberinya.
Dema bertepuk tangan. "Gue setuju banget! Ya, sebelum menghadapi ujian yang gak lama lagi ini."
Alira dan Safin hanya terdiam. Usulan Retno mungkin bukan ditujukan untuk mereka berdua. Jadi, mau tak mau, merekapun hanya dapat mendengarkan acara mereka.
"Cuman kita empat, nih?" mata Dema melirik-lirik kearah Safin dan Alira. Bermaksud kedua cewek itupun ikut juga.
Retno menyeruput minumannya sambil mematahkan es batu dengan giginya. Hingga berbunyi gemeletuk pecahan es dalam mulutnya, setelah habis ia baru mengangkat suara. "Iya! Kalian berdua wajib ikut sih, apa lagi gue mau bawa Laura." ucap Retno dengan dagu terangkat membuktikan bahwa ia seorang lelaki jantan dan tak sendiri.
"Songong! Yang baru jadian panas-panas tai kucing mah, gini emang!" Deral menepuk atas kepala Retno dengan bantal. Dia tak sanggup mencegah tangannya untuk menimpuk sahabatnya ini.
Retno tertawa,"gue sih, turut perihatin. Jomblo, mah bisa apa?" sindir Retno kepada Deral dan Dema. Dua sejoli yang tidak laku-laku sejak kemarin.
Dema berdecak, "lo, selepe sama kita. Kita emang gak punya pacar, tapi lagi mencari sesuatu yang pas dari sebelumnya. Asik banget gak kata gue?" Dema menyisir jambulnya dengan kelima jarinya sambil mengedipkan matanya bak seorang model yang tengah tampil tampan didepan fansnya.
Attar tidak mengidahkan percakapan antara ketiga sahabatnya itu. Matanya masih fokus kepada gitar dan sesekali melirik kearah Alira yang tengah tertawa mendengar lelucon Dema.
Entahlah, kegiatan terbarunya ialah melirik wajah Alira.Begitu pula dengan Alira, setelah Attar melihat pada senar gilirannyalah yang melirik Attar. Rahang tegas, mancung, alis yang tertata rapi, semuanya Alira kagumkan.
Tanpa mau melihat terus menerus, Alira mengalihkan pandangannya kearah pintu yang baru saja terbuka. Menampilkan seorang Mega dengan wajah tengirnya. Menatap jengkel kepada Attar dan Alira yang duduk bersebelahan.
Kedatangan Mega jelas membuat orang yang berada diruangan itu kaget, namun Mega tidak perduli. Sebelum akhirnya ia angkat bicara, barulah orang-orang itu berkedip, "gue mau ikut nyanyi dengan Attar!"
Dema langsung mencegah, "udah deh, acaranya bentar lagi juga udah dekat. Kalau lo ikut bakal lama."
Mega tetap kekeuh dengan pendiriannya, "gue, gak mau! Gue mau ikut pokoknya!" kedua tangannya melipat diatas dada, layaknya seorang anak kecil yang tidak diberikan permen lolipop oleh Ayahnya.
"Suara lo jelek." ucap Attar yang membuat gravitasi ruangan mendadak sepi. Ketiga sahabatnyapun tertawa sekencang-kencangnya. Tanpa pikir ada Mega yang wajahnya sudah merah padam.
Dahi Mega mengernyit, untuk kesekian kalinya dirinya dihina oleh Attar. Tapi hal itu tentu tidak membuat keinginannya pupus begitu saja. Jangan katakan Mega jika apa yang ia inginkan, tidak bisa ia dapat. Mega tersenyum licik, "ok, tunggu aja."
• • •
kembali up!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Alira untuk Attar
Teen Fiction{{ Cover by : @waygraphic }} "Pernah terpikir untuk mengakhiri hidup ini, Ra. Dan lo hadir merubah pikiran gue. Terimakasih Ira, untuk semua ajaran yang lo berikan ke, aku." _______ Pemicu terberat Attar menjadi seorang yang berengsek adalah permasa...