Attar keluar dari mobil Ayahnya itu dan masuk kedalam rumah. Pintu rumah sudah lebih dulu dibuka oleh Bi Ina, pengasuh Attar dari kecil. Attar memberi senyum sambil melewati Bi Ina, kemudian cowok itu duduk dibangku tamu sembari menunggu Ayahnya yang memasukkan mobil kedalam garasi.
Attar berdiri ketika Ayahnya sudah datang, "Pa, sesuai dengan perkataan, tolong kasih tahu keberadaan Mama dimana." kata Attar cepat tanpa basa basi.
Pattar melihat anaknya itu dengan tajam sebelum memberikan respon.
"Pa, Attar udah menuruti kemauan Papa."
"Bagaimana bisa Papa memberi tahu kamu, sedangkan kamu tidak menjaga tingkah laku kamu didepan Sonya, Mega dan Andrian?"
Attar tidak mengerti, "perjanjian tingkah laku tidak ada Pa. Perjanjian hanya kalau Attar ikut, Papa memberitahu. Hanya itu."
"Seharusnya, kamu tahu kalau ikut dengan Papa pasti menjaga sikap dan sopan santun. Diluar sana, banyak yang kenal Papa, kalau mereka melihat gaya berandalan kamu, dimana muka Papa kamu taruh?" jelas Pattar panjang lebar dengan nada yang meninggi menahan sesak didada.
Attar mengeraskan rahangnya, selalu bersabar dalam menghadapi sikap Papanya. "Sepenting apa wanita itu dihadapan Papa? Sampai Papa melupakan anak yang hanya meminta kabar Mamanya?"
"Kamu tidak perlu bertanya, karna kamu sudah tahu jawabannya." Alih-alih menjawab, Pattar segera masuk kedalam kamar meninggalkan Attar yang masih terpatung.
Attar terdiam, mencerna baik-baik apa perkataan Papanya itu. Tanpa Attar sadari, Bi Ina sudah berdiri dibelakangnya sambil menepuk pundaknya. Bermaksud menenangkan Attar. Karena, Bi Ina sendiri pun tahu perasaan Attar sejak kecil sampai sekarang.
Attar berbalik, tersenyum kecil kepada Bi Ina. Kenapa tidak Bi Ina saja yang menjadi Ibunya? Kenapa tidak Pak Sastro penjaga rumah saja yang menjadi Ayahnya? Sejak kecilpun, Attar sudah merasakan kasih sayang dari kedua orang itu. Attar memeluk Bi Ina, menganggap Bi Ina sebagai Ibu penggantinya.
Bi Ina memberikan sentuhan hangat kepada Attar, mengelus punggung anak laki-laki itu. "Sudah, kamu terlalu tinggi untuk memeluk Bibi."
Attar terkekeh pelan, "Bi Ina, apa Attar pernah buat salah waktu kecil? Sampai Mama gak ada usaha untuk menemui Attar? Kenapa Attar terus yang selalu berusaha untuk menemukan Mama?"
"Syuhh! Kamu ini! Jangan asal ngomong deh, gak baik tahu." jawab Bi Ina yang masih dalam memeluk Attar.
Attar tidak pernah menyangka, ia akan mengeluarkan benih-benih hangat dari matanya. Sehingga membuat pipinya terasa basah, "kamu menangis? Mana Attar jagoan Bi Ina? Yang dulu menjadi raja guli?"
Untuk kesekian kalinya, Attar tertawa walau dalam keadaan menangis. Attar melepaskan pelukannya dari Bi Ina dan menghapus air matanya. Attar tidak ingin terlihat cengeng didepan mata semua orang, tapi jika didepan Bi Ina mungkin Attar biasa saja. "Bi jangan bilang siapa-siapa saya nangis ya?"
Bi Ina tersenyum, lalu mengangguk. "Yaudah, Bibi mau ke dapur dulu."
Attar mengangguk, dan berjalan kembali masuk kedalam kamar. Tidur dibawah air conditioner sangat menjiwai hidupnya. Persetan dengan semua ucapan Ayahnya. Yang tidak bisa menepati janji, dan Attarpun tidak akan mudah kembali mempercayai ucapan Ayahnya.
•~•
"Alira, tolong kemari sebentar." ucap Pak Dawo selaku guru olahraga mereka. Alira datang dengan wajah bersemi, siap untuk mendengar pelajaran atau ajaran dari Pak Dawo.
"Kamu bisa ambilin keranjang bola voli dari gudang penyimpan alat olahraga? Tahu kan?" Alira merengut seketika, bukan pelajaran namun perintah. Tapi Alira tetap menuturi perintah Pak Dawo.
"Iya Pak." jawab Alira dan berjalan kearah gudang.
Belok kanan atau belok kiri ya? Alira bergumam sendiri dalam hati. Ia lupa-lupa-ingat denah sekolah ini. Kiri kali ya? Iya deh kayaknya.
Alira melihat ruangan kecil tanpa ada pintu. Alira mencoba mendekati dan melihat beberapa bola kasti dan juga pemukul bola kasti. Sudah pasti ini adalah gudang penyimpanan alat olahraga. Alira mencari-cari bola voli, tapi tidak ketemu. Dari tadi ia hanya melihat bola basket, tali tarik tambang, bola kaki, dan beberapa alat lainnya tapi tidak ada bola voli.
Ada satu yang belum Alira periksa, kardus diatas lemari yang berdiri sendiri. Alira mencoba mencari kursi didekatnya tapi tidak ada. Sudah terlalu lama jika ia harus balik lagi ke lapangan dan meminta izin untuk mengambil bangku. Alira memutuskan untuk memanjat, lagian tingginya hanya beda dua rak saja dari kardus itu.
Alira menaiki rak lemari yang paling bawah, menyusul kaki keduanya yang menaiki rak kedua. Namun tangannyapun juga belum sampai menyentuh kardus itu, Alira sedikit ragu menaiki rak yang ketiga, karna ia takut tidak dapat menyeimbangkan posisinya. Bisa saja tiba-tiba lemarinya jatuh menimpa dirinya. Gak! Lemarinya kokoh kok! Alira menyakinkan dirinya dan menaiki rak ketiga tapi seperti dugaanya, rak oleng hampir menimpa tubuhnya.
"Aa—aaa!!" Alira menjerit menutup mata. Tapi sampai hitungan ke 10 pun lemari itu tidak ada menyentuh tubuhnya padahal suara kardus jatuh sudah terdengar. Alira membuka matanya, ia sudah menginjak lantai. Tapi kenapa lemarinya tidak jatuh? Alira mendongak, terkejut melihat sesosok cowok tengah menahan lemari. Dia adalah Attar.
"Kak Attar?"
"Cepet bantuin gue, jangan ngelihatin gitu aja!" ucap Attar yang kemudian Alira ikut menolong untuk mendirikan lemari tadi.
"Kok lo gak minta bantuan sih? Gimana kalau tadi lo ketimpa? Kenapa cewek yang disuruh? Kan ada bangku, lo bisa ambil kek apa kek? Bodoh banget sih!"
Alira hanya terdiam tidak berani menjawab. Ia memang salah, seharusnya ia minta tolong ke orang lain. "Maaf kak." hanya itu kata yang berani Alira keluarkan.
"Lo mau ngapain? Bola voli?" Yang ditanya hanya mengangguk, "bola voli bukan disini tempatnya. Ini bola voli yang udah gak bisa dipakai lagi, ayok gue tunjukin jalannya." Attar keluar dengan Alira yang mengikuti dibelakang punggungnya.
"Tuh," Attar menunjuk dengan mengangkat dagunya.
Alira masuk kedalam ruangan yang lebih layak dari pada sebelumnya, ia mengambil keranjang yang berisi sekitar 7 bola voli didalamnya. Melihat hal itu, Attar kembali membantu Alira tidak mungkin cewek itu bisa mengangkatnya sendirian melihat kondisi badan mungilnya.
"Sini gue bawain," ucap Attar mengambil alih keranjang itu dari tangan Alira membawanya ketengah lapangan.
Sontak hal itu membuat seantero yang berlalu-lalang dipinggiran lapangan terkejut. Begitu pula dengan Pak Dawo. Tadi ia menyuruh satu orang, yang datang dua orang. "Letakkan disitu saja." ucap Pak Dawo yang kembali mengawasi tim futsal dilapangan.
Attar meletakkan keranjang tersebut didekat tong sampah. "Sudah nyuruh, tidak tahu terima kasih." ucap Attar sinis. Maunya ia menguatkan sedikit lagi suaranya, agar didengar dan orang itupun sadar diri.
Alira terkekeh mendengarnya, "terima kasih ya kak, udah menyelamatkan aku dan membawa keranjang ini."
Attar menoleh kearah gadis disampingnya, dengan tatapan datar dan wajah yang dingin. "Hm." ucapnya dan berlalu pergi begitu saja.
Alira tersenyum malu-malu, sambil melihat punggung Attar yang mulai menghilang. Aneh, tapi lucu.
• • •
dua part sekaligus:"

KAMU SEDANG MEMBACA
Alira untuk Attar
Fiksyen Remaja{{ Cover by : @waygraphic }} "Pernah terpikir untuk mengakhiri hidup ini, Ra. Dan lo hadir merubah pikiran gue. Terimakasih Ira, untuk semua ajaran yang lo berikan ke, aku." _______ Pemicu terberat Attar menjadi seorang yang berengsek adalah permasa...