Alirattar - 11

3K 111 3
                                        

Attar melepaskan tarikannya dari Alira dan berhenti tepat didepan pintu kayu coklat. Alira sedikit mengelus pergelangan tangannya yang sudah ber-cak merah.

"Maaf, gue gak bermaksud buat nyakitin tangan lo. Tapi kalo gue gak tarik lo tadi, Mega bakalan cari ribut." jelas Attar blak-blakan.

Tanpa menunggu jawaban, Attar menekan kenop pintu tersebut yang terlihat isi didalam ruangan itu dengan berbagai alat musik. Mulai dari gitar, drum, bass, piano dan berbagai lainnya. Alira tidak pernah membayangkan, Attar mempunyai bakat lain selain memukul orang dengan tangannya.

Alira masuk meneliti ruangan itu, nyaman hanya saja berdebu. Mungkin Attar sudah lama tidak menggunakannya. Ditengah ruangan terdapat piano yang ditutupi dengan kain putih seluruhnya, dan pada bagian sudut kiri terdapat drum, kearah sebaliknya terdapat lemari. Lemari hias yang diatasnya terdapat dua tumpukan box. Disamping piano, ada gitar dan juga dua tempat duduk.

Saat Alira sedang meneliti ruangan, Attar membuka jendela. Melihat keluar, sudah lama ia tidak memandang keluar dari jendela ini. Waktu masa sekolah dasar ia sering sekali menatap keluar, sambil menggambar apa yang ada dipikirannya. Hingga Bi Ina marah karena Attar lupa waktu. Sekarang, tempat ini benar-benar berdebu. Lebih dari tiga tahun ia tidak menggunakan ruangan ini.

"Kok tempatnya berdebu kak?" tanya Alira dengan jari tangan yang menempel pada piano, kemudian ia mengusap-usapnya.

"Karena gue jarang pakai."

"Kok gitu? Kalau aku jadi kakak sih, bakalan aku pakai tiap hari. Belajar, padahal aku sama sekali gak bisa main alat musik."

"Lo terlalu kasihan untuk jadi gue."

Alira membalik badannya, ujung matanya melihat Attar yang tengah sibuk membersihkan gitar dan bangku dari debu. Alira beranjak kearah sana, berniat membantu Attar, "maksud kakak?" tanya Alira sambil membersihkan kotoran debu dengan selembar tissue.

"Lo mau kepoin gue, atau mau latihan sih? Kalau gak, gue balik kamar aja."

Tenggorokan Alira terasa tercekat. Alira hanya bisa mengangguk terdiam, dan membersihkan peralatan.

Belum puas dengan mengagumi tempat ini, Alira meninggalkan bangku yang baru setengah ia bersihkan. Ia beralih kepada sebuah lemari kaca yang berada disamping jendela. Alira memperdalam penglihatannya, didalam sana ada sebuah foto. Jika dilihat secara teliti, itu adalah Attar dan Kepala Sekolah. Disitu, mereka terlihat tersenyum saling bertatap-tatapan. Tapi, kenapa sekarang keduanya bahkan tidak pernah terlihat tersenyum? Apa yang sudah terjadi?

Alira mendengar suara petikan gitar. Melihat kearah Attar yang mulai menyetel nada gitar. Alira kembali pada posisi semula, disamping foto terdapat piala perunggu. Terdapat nama Attarlan Alzares Gardito disana.

Gardito?

"Lo mau disana berapa lama? Atau memang modus mau lama-lama bareng gue?" goda Attar, hanya saja suaranya yang dibuat garang.

Alira berdecak, kemudian duduk disamping Attar.

"Mau lagu apa?" tanya Attar, "jangan lagu cinta-cinta deh, norak."

"Loh kenapa? Justru dengan lagu melow dan kata-kata yang bagus seperti lagu cinta akan membuat suasana menjadi lebih bagus kak. Karena penonton juga anak-anak muda."

"Bawel ya lo. Gue gak mau."

"Terus maunya apa dong?"

"Ya, apa, kek, entah lagu kebangsaan atau keluarga gitu?"

"Kakak mau ikut festival atau mau ikut lomba tujuh belasan sih?"

Alira untuk AttarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang